Kemarin, kita baru saja merayakan Hari Lahir Pancasila.
Hari yang katanya diperingati sebagai momentum untuk menyatukan bangsa. Tapi, di tengah perayaan ini, kita justru sedang sibuk membentuk ulang masa lalu. Ya, pemerintah kita saat ini lagi gencar-gencarnya menyusun sejarah resmi versi terbaru. Katanya sih demi membentuk sejarah dengan orientasi kebangsaan. So sweet, ya? Mirip brosur properti, padahal isinya renovasi total.
Alih-alih jujur dan menyeluruh, revisi sejarah ini lebih mirip proses whitewashing. Luka-luka masa lalu yang belum sembuh, bukannya dirawat, malah ditutupin. Dibalur cat putih, dibungkus pita merah putih. Supaya apa? Supaya nggak terlalu keliatan negative vibes, biar cocok jadi bahan bacaan anak muda yang suka scroll-scroll sambil ngopi.
Tempo, salah satu media yang masih waras di tengah euforia nasionalisme estetika, membongkar isi draf proyek sejarah ini. Mereka menemukan sejumlah lubang besar yang bikin pembaca—kalau masih punya ingatan sejarah—garuk-garuk kepala.
Misalnya, kekejaman Orde Baru selama 32 tahun kekuasaan Soeharto mendadak menghilang dari daftar penting. Iya, 32 tahun, bukan 32 menit. Tapi entah kenapa, jejak kekerasan, penculikan, penembakan misterius, dan pembungkaman dibabat habis. Gantinya? Satu bab khusus yang memuji kesuksesan pemerintahan Joko Widodo. Wah, ini sih bukan buku sejarah, tapi katalog prestasi.
Katanya lagi, sejarah harus lebih seimbang. Tapi seimbang versi siapa? Seimbang antara pelaku dan korban? Atau seimbang antara ingatan dan penghapusan? Penembakan misterius pada 1982–1985? Penculikan aktivis 1997–1998? Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998? Semua itu, yang dulu diperjuangkan masuk buku sejarah oleh para korban dan penyintas, kini kembali terancam hilang. Lagi-lagi, kita mengulang dosa lama. Menyusun sejarah dengan prinsip “asal jangan bikin malu pemerintah”.
Dan bukan cuma korban kekerasan negara yang terancam dihapus. Bahkan perempuan pejuang kemerdekaan pun ikut-ikutan dilenyapkan. Dalam draf revisi itu, Kongres Perempuan Indonesia 1928—yang menjadi tonggak penting gerakan perempuan—tidak disebut sama sekali.
Padahal kongres ini bukan ajang reuni ibu-ibu pejuang. Ini forum nasional pertama yang membahas pendidikan, pernikahan paksa, sampai hak politik perempuan. Tapi entah kenapa, para ibu bangsa dianggap kurang Instagramable buat dimasukkan ke dalam sejarah kebangsaan yang dikurasi rapi ini. Ibaratnya, sudah berdarah-darah di dapur perjuangan, eh malah dicoret dari daftar resep.
Tapi tenang saja, semua ini katanya bukan penghapusan, tapi penyesuaian. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dengan penuh semangat nasionalis, menyatakan bahwa penulisan ulang ini demi menghapus bias kolonial—misalnya narasi yang terlalu memusatkan peran aktivitas Belanda atau mengabaikan kontribusi masyarakat pribumi yang melawan penjajahan—dan lebih mengedepankan perspektif Indonesia. Gagah ya? Tapi siapa sangka jika di lapangan, yang dihapus bukan cuma bias kolonial, melainkan juga kekejaman negara terhadap rakyatnya sendiri.
Fadli juga bilang bahwa kabar soal penghapusan Kongres Perempuan itu hoaks. Justru ingin menonjolkan peran perempuan, katanya. Tapi herannya, draf yang dibocorkan tidak menunjukkan itu. Pertanyaan pun muncul. Apakah sejarah baru yang disusun benar-benar merepresentasikan fakta atau hanya pandangan dari satu sisi saja?
Nah, di sinilah kita harus kembali ke akar, sejarah dari hari lahirnya Pancasila itu sendiri.
Soekarno, dalam pidato yang diucapkan pada 1 Juni 1945, dengan lantang menyatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi Trisila, lalu menjadi Ekasila: Gotong Royong. Bukan sekadar jargon karangan elite, gotong royong lahir dari kebudayaan asli rakyat Indonesia. Di desa-desa, tanpa diminta, orang-orang akan senantiasa datang membantu tetangganya yang punya hajatan. Tanpa pamrih, tanpa ada komando.
Gotong royong ini adalah wujud paling konkret dari masyarakat tanpa kelas. Dan menariknya, gagasan ini juga sejalan dengan cita-cita Karl Marx dalam bukunya Das Kapital. Bukan dalam kerangka ideologi negara komunis, tapi dalam konteks sosial. Menciptakan masyarakat egaliter, yang bekerja dan hidup bersama tanpa dominasi kelas. Satu untuk semua.
Makanya, kalau hari ini pemerintah mau menulis ulang sejarah, gotong royong seharusnya bisa jadi pondasi narasi. Bukan karena dia “aman”, tapi karena dia radikal dalam kesetaraan. Gotong royong bisa jadi jembatan antara Pancasila dan dialektika intelektual yang sudah mulai hilang dalam masyarakat kita, sebagai nilai hidup, bukan sekadar simbol dalam lambang negara.
Disinilah paradoks kita: Pancasila, yang seharusnya terbuka terhadap perbedaan pemikiran, kini dipakai untuk membungkam wacana. Komunisme, langsung dicap sebagai musuh negara. Padahal, kalau mau serius membangun bangsa yang adil dan beradab, kita harus berani membuka ruang kajian, bukan menutup diskusi dengan label dan stigma. Sentimen politik seolah membuat marxisme dan turunannya, sangat berlawanan dengan Pancasila. Banyak stigma buruk tentang marxisme, hingga pelarangannya pun diabadikan dalam aturan negara.
Pancasila itu bukan anti-komunisme. Ia adalah rumusan dasar hidup bersama yang bersumber dari realitas dan pengalaman hidup rakyat Indonesia, termasuk nilai-nilai egaliter yang juga ditemukan dalam pemikiran sosialis. Kalau ingin menolak, silakan. Tapi tolaklah dengan argumen, bukan trauma. Bukan dengan kebijakan pembungkaman. Ini demi kesehatan intelektual bangsa.
Ketika semua hal yang berbeda, berakhir pada persekusi seperti pembakaran buku, pembubaran diskusi, dan bukannya melawan dengan argumen yang lebih valid, maka tak perlu heran jika Indonesia tak kemana-mana.
Kita sedang menyaksikan sejarah diproduksi ulang seperti sinetron prime time. Ada naskah, ada aktor, dan ada tokoh-tokoh yang “nggak cocok” yang akhirnya dicoret. Ini bukan catatan kolektif bangsa, ini brosur promosi kebangsaan. Siap-siap ya, anak cucu kita akan baca sejarah Indonesia yang lebih cocok dijuduli: Negeri Tanpa Dosa.
Jadi, begitulah. Kemarin kita rayakan Hari Lahir Pancasila.
Di usianya yang ke-80, Pancasila tetap dibanggakan dalam pidato, tapi dilupakan dalam praktik. Dulu Pancasila lahir untuk menyatukan bangsa, sekarang justru dipakai untuk menyatukan narasi—asal jangan terlalu menyakitkan, asal jangan terlalu jujur.
Kalau sejarah adalah guru kehidupan, maka kita sedang mendiamkan gurunya dan menulis ulang bukunya. Dengan tinta merah putih, dan koreksi pakai tipe-x kebangsaan.
Stevani Agustin
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum