Sebelum Menjadi Pejabat Pemerintahan, Begini Caranya Berpolitik Ala Pemira UTM

Sebelum Menjadi Pejabat Pemerintahan, Begini Caranya Berpolitik Ala Pemira UTM

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 19 Desember 2021

Perhatian: sebelum membaca tulisan ini alangkah baiknya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan, yang pertama dan kedua kepada Universitas Trunojoyo Madura (UTM), yang telah mengizinkan pengadaan Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira).

Mengapa demikian?

Seyogianya, kita harus berterima kasih atas adanya Pemira di UTM, khususnya tahun 2020 dan 2021, karena menyadarkan kita bahwa taktik politik diperlukan dalam ranah mahasiswa. Tidak hanya kalangan pejabat saja yang menggunakannya untuk merebutkan kursi kekuasaan, bahkan taktik tersebut juga dapat diterapkan mahasiswa untuk memenangkan kursi Presiden Mahasiswa dan Wakil Presiden Mahasiswa atau lembaga yang lain. Selain itu, hal berbau taktik politik seringkali menjadi topik menarik. Bagi  kalangan mahasiswa karena saya meyakini tidak sedikit mahasiswa yang mendambakan kursi jabatan tersebut. Sehingga, perlu adanya pengetahuan agar lebih mumpuni dalam menekuni dunia perpolitikan di kampus, sebelum menjamah ke tingkat yang lebih agung.

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diakui terlebih dahulu bahwa taktik politik perlu digunakan. Terlebih, untuk bertahan hidup dalam lingkaran pemerintahan. Hal ini sangat penting, karena di dunia pemerintahan tidak mengenal kawan, hanya mengenal lawan, dan hubungan sesama hanya demi keuntungan saja. Siapa pun akan menjadi mangsa dan sebutan teman hanya formalitas belaka. Masih tidak percaya? Cobalah lihat ada berapa banyak golongan partai yang tujuan manisnya sama, yaitu memajukan negara Indonesia. Namun, tetap saja terbagi atas golongan tertentu, seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dan kawan-kawan. Jika memang tujuannya sama, toh mengapa tidak digabung saja menjadi satu golongan sehingga lebih mudah menangani permasalahan yang ada. Seperti dalam pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dianjing  dijinjing.

Adapun mengenai perpolitikan dalam dunia kampus, seperti perebutan kursi yang tertulis di awal, pada Pemira UTM 2021 (meskipun belum sepenuhnya selesai) telah memberikan pandangan baru bagi kita semua untuk mengetahui bagaimana cara mempertahankan kursi kekuasaan. Menurut saya tips or trick ini begitu penting untuk mengetahui jalannya pemerintahan yang sudah lama hanya dikuasai oleh salah satu golongan saja, yah sudah umum diketahui, yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Hal ini merupakan taktik yang patut dipelajari, bagi kaum yang mendambakan kursi jabatan. Namun selebihnya sebatas pengetahuan saja karena taktik ini sangat berbahaya jika digunakan. Mengapa berbahaya? Jelas, sangat mumpuni untuk mengalahkan lalat yang menganggu. Selain itu, yang pasti akan merugikan pihak yang tidak senang, terutama pada pihak yang gagal dalam persaingan. Toh, secara kemanusiaan siapa yang mau membenarkan perilaku menyakiti hati sesama, kecuali dia manusia jadi-jadian.

Namun, saya yakin bahwa pada Pemira 2021, pihak yang kalah bersaing, bahkan pada masa pendaftaran, tidak akan sakit hati lantaran telah mendapat hidayah akibat mengganggu rubah yang tertidur. Salah mereka sendiri mencoba membalikkan dinasti yang telah mengakar kuat dengan taktik yang kurang manjur. Agar tidak terlalu membosankan, saya langsung memaparkan taktik yang bisa digunakan dalam mempertahankan kekuasaan tersebut.

Tidak ada peraturan  kotak kosong dalam pemilihan pasangan tunggal

Bagi mahasiswa fakultas hukum tentu tidak asing dengan istilah kotak kosong. Biasanya, adanya kotak kosong dilakukan jika hanya ada satu kandidat dalam pemilihan. Tujuannya untuk mewujudkan demokrasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Bayangkan saja jika dalam Pemilu hanya terdapat pasangan tunggal saja, tentu mau atau tidak kita akan memilih pasangan tersebut. Maka dari itu, perlunya kotak kosong memberikan kebebasan memilih bagi peserta Pemilu.

Namun, dengan tidak adanya kotak kosong ternyata dapat menjadi taktik yang manjur untuk memenangkan kursi jabatan yang kita inginkan. Hanya dengan satu pasangan yang dicalonkan, secara otomatis peserta Pemilu mau atau tidak akan memilih pasangan calon tersebut. Meskipun tidak sesuai dengan asas demokrasi, taktik ini ternyata masih bisa dijalankan. Seperti yang terjadi pada Pemira di UTM pada tahun 2020 yang terbukti manjur. Pada saat itu tidak ada kotak kosong dalam Pemira hanya satu pasangan saja yang mencalonkan maju menjadi Presma dan Wapresma. Alhasil, pasangan tersebut menang dengan suara yang minim, yakni 22.5% dari keseluhan Daftar Pemilih Tetap Mahasiswa.

Dengan demikian taktik ini bisa dipakai kembali pada Pemira 2021 karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemilu Mahasiswa, di UTM, belum mengatur adanya kebijakan tersebut, dan bagaimana mekanismenya apabila kebijakan ini diterapkan. Meskipun pada Pemira tahun 2020 sempat ramai diperbincangkan karena tidak adanya kotak kosong dalam Pemira pasangan tunggal, namun pihak perancang undang-undang, tidak menggubrisnya. Selain itu, jika semisal ada beberapa kroco yang tak terima, sebagai cikal bakal pejabat negara harus lihai menanganinya dengan cara yang elegan, seolah mengusir lalat dengan lambaian tangan.
 
Salah satu caranya, seperti tetap mengadakan kotak kosong sebagai kedok jika Pemira sudah berasaskan demokrasi. Namun, perlu dicatat, bahwa tidak perlu diberi ketentuan yang mengatur mengenai ketentuan suara. Jika mengacu pada kebijakan negara, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasangan tunggal harus memenangkan 50% dari suara yang sah untuk memenangkan pemilihan. Maka dalam Pemira kali ini, jika mengadakan kotak kosong, berapa pun jumlah suara yang dimenangkan kotak kosong, yang pasti pasangan tunggal itu yang menang karena belum ada hukum yang mengatur ketentuan suara.
  
Membentuk kondisi pemilihan dengan pasangan tunggal saja

Lebih jauh lagi, agar taktik kotak kosong mampu berjalan dengan maksimal, syarat wajib yang harus ditempuh ialah dengan mewujudkan kondisi yang mana harus satu pasangan saja yang dicalonkan. Akan tetapi, untuk mewujudkan kondisi tersebut sangat susah, karena saya yakin banyak mahasiswa menginginkan kursi jabatan sehingga banyak pesaing. Tetapi tetap tenang dan jangan khawatir, pada Pemira 2021 ini, sang penguasa dinasti telah menunjukan solusinya.

Jika pembaca budiman yang mengikuti berita persiapan Pemira 2021, pasti tidak asing dengan isu adanya penjagalan pendaftar Calon Presma-Wapresma. Isu tersebut sempat ramai diperbincangkan, karena terdapat salah satu pasangan yang gagal disahkan menjadi calon. Pasalnya, tidak adanya stempel dalam surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan. Tentu saja hal inilah yang menjadi salah satu senjata untuk mewujudkan pasangan tunggal dalam Pemira.

Jika tetap terpatok dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2021 Pasal 3 Ayat (1) Huruf O, maka rencananya akan sia-sia. Hal ini disebabkan tidak ada ketentuan yang jelas dalam aturan tersebut, mengenai penggunaan stempel dalam surat pernyataan pengunduran diri. Sehingga, apabila tetap berpedoman pada peraturan, maka akan susah untuk mengakali. Dengan demikian, kita bisa membalikan kondisi yang mana, meskipun dalam surat pengunduran diri tersebut telah sesuai peraturan, masih belum sah ke validitasnya.

Saya yakin bahwa pembaca akan mengira akan mustahil karena berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri bahwa hukum tertulis harus jelas rumusannya. Namun perlu diperjelas kembali, jika terus berpatokan pada peraturan saja maka rencana untuk mewujudkan pasangan tunggal akan sia-sia. Maka dari itu, kita bisa mempermasalahkan hal lain dalam surat pengunduran diri tersebut, semisal penggunaan stempel. Fungsi adanya stempel sendiri untuk menunjukan tanda pengenal, sehingga penggunaan stempel sangat penting untuk dicantumkan. Toh, jika hanya sekedar tanda tangan, siapapun bisa memalsukannya, namun berbeda dengan stempel yang cukup susah untuk memalsukannya. Meskipun terlihat remeh, namun taktik inilah yang terbukti manjur demi mewujudkan satu pasangan tunggal.

Adapun sebagai upaya mengantisipasi pihak yang tidak terima terhadap penyelenggaraan Pemira, seperti kasus tidak adanya stampel, maka agar terlihat seperti pemerintahan yang baik tentu harus mendengarkan dengan baik apa yang dikeluhkan, seperti mengurus adanya gugatan yang diajukan. Namun, alasan mengurus hanya untuk mengelabui saja, kembali ketujuan awalnya "biar terlihat baik," tetapi dengan segala upaya sang pemerintah harus menerima tidak sahnya gugatan tersebut. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MKM-KM), selaku lembaga yuridis, perlu diajak bekerja sama dengan baik karena keputusan di tangan mereka.

Jika melirik kasus gugatan kepada Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) KM tahun 2020, pihak MKM-KM menolak dengan dalih tidak tercantum identitas penggugat secara jelas dan lengkap. Meskipun data yang dipaparkan sudah jelas karena berbentuk angka, namun tetap yang disalahkan pihak penggugat. Agar pembaca lebih mudah memahami saya akan memberikan contoh. Bagaimana jika ada seseorang yang tak dikenal memberikan uang yang terbilang cukup banyak, apa yang kalian rasakan? Tentu curiga bukan. Jangan-jangan uang tersebut hasil curian, bagaimana jika sewaktu-waktu ada polisi yang mendatangi saya untuk menangani kasus pencurian. Apakah mereka akan menyalahkan saya atau orang yang memberi uang saya, dengan bukti uang berada ditangan saya? Pikirkan lagi.

Lain lagi jika pada Pemira 2021 yang belum tuntas ini, yang mana terulang kembali adanya gugatan kepada pihak KPUM-KM dengan alasan yang berbeda, yakni karena tidak adanya stempel pada surat pengunduran diri. Meskipun gugatan tersebut telah menempuh sidang sampai tiga kali, tetap saja, gugatan tersebut ditolak pada sidang ketiga, dengan dalih bahwa perkara tersebut bukan kewenangan MKM-KM karena masih sengketa administrasi. Selain itu, dengan tugas MKM-KM yang hanya mengurusi sengketa "kewenangan antar Keluarga mahasiswa" sudah jelas bahwa pihak penggugat tidak sah kedudukannya yang masih menjadi bakal Capresma dan Cawapresma.

Syahdan, masih banyak lagi tips or trick mempertahankan kursi kekuasaan yang belum tertuang pada tulisan ini. Namun, dengan berat hati tidak saya tuangkan semuanya. Saya hanya berbagi sejengkal pengetahuan tentang politik kepada pembaca. Perihal perduli atau tidaknya terhadap tulisan ini, pembaca yang budiman sekalian, saya tidak mampu memaksa kalian untuk peduli. Adapun terkait pertanyaan lain, seperti: apa manfaatnya mendapat kursi kekuasaan dapat pembaca cari tahu sendiri. Saya sebagai penulis bukan orang yang terlibat dalam perebutan kursi tersebut. Dapat dianalogikan seperti penonton yang sedang melihat orang bermain catur, tanpa mengetahui alasan pemain tersebut memainkan catur. Jadi alangkah baiknya mencari tahu sendiri karena sejatinya ilmu akan lebih masuk ke otak ketika kita sendiri yang mengalaminya. Sekian terima kasih dan jangan lupa melakukan hal-hal yang baik.


Adji Imannudin
Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Trunojoyo Madura