Kran di Sekertariat Bersama (Sekber). Foto. Biii
WKUTM – Universitas Trunojoyo Madura (UTM) tidak mampu mencukupi
suplai kebutuhan air sehari-hari. Permasalahan air sering mati sampai sekarang
belum menemu titik terang, walaupun pihak rektorium mengklaim punya banyak
wacana guna mengatasi masalah yang demikian. Sementara, pembelian sepetak tanah
untuk mendapatkan cadangan baru sumber air menjadi alternatif dari pihak
kampus.
Seperti yang dikatakan Staf Unit Layanan Pengadaan (ULP), Amrin
Rozali, mengaku bahwa keterbatasan air merupakan kesalahan dari pihak kampus.
Lebih jauh, pihak kampus menggunakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang
jumlahnya terbatas. Selain air dari PDAM yang tidak lancar, daya tampung air di
UTM juga masih minim.
”Kalau itu memang
kesalahan kita, belum menambah tangki air untuk lebih banyak menyimpan air dari
PDAM yang sedikit,” ujar Amrin saat diwawancara di ruang kerjanya (29/11).
Adapun selama ini cara yang dilakukan untuk menangani keterbatasan
air, adalah dengan mengisi penuh tangka air pada hari jumat-minggu untuk
menyediakan air empat sampai lima hari kedepan. Namun, cara yang demikian tidak
efektif dilakukan, sebab tingginya kebutuhan masih belum seimbang dengan
ketersediaan air, ”Antara kebutuhan dan ketersediaan masih belum seimbang,”
ujar pria asal Sumenep tersebut.
Amrin juga mengatakan pengeboran harus dilakukan untuk menyuplai
kebutuhan air. Seperti pengeboran di masjid, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB),
dan rencana di Fakultas Hukum (FH). Namun pihaknya mengatakan bahwa pengeboran
tersebut bukan solusi konkret.
”Sebenarnya bukan
melakukan pengeboran, melainkan pemanfaatan galian bekas pembangunan, daripada ditutup, bisa
digunakan untuk penyedia air,” tambahnya.
Perihal air masjid payau, Amrin mengatakan kalau hal itu tergantung dari kedalaman
pengeborannya. Jika pengeborannya dalam air akan payau seperti di masjid, namun
jika dangkal tidak mencukupi untuk menyuplai kebutuhan air.
Bagi Amrin, ada banyak solusi untuk mengatasi pasokan air yang minim
di kampus. Seperti yang dilakukan Universitas Gajah Mada (UGM) – yang dapat
merubah air bekas menjadi siap minum. Lebih lanjut cara yang dilakukan Wali
Kota Surabaya, Risma, dengan menanam pohon pulai yang berfungsi sebagai
penyimpanan air juga ingin diadopsi. Namun, dari kedua solusi tersebut masih
terkendala tingginya biaya.
”Sementara solusi yang mungkin bisa dilakukan oleh UTM untuk
mengatasi masalah demikian adalah dengan membeli sepetak tanah di daerah Kamal.
Selain sumber airnya banyak, biaya yang harus dikeluarkan juga relatif murah,”
pungkas Amrin.
Di tempat lain Kepala Sub Bagian (Kasubag) Keuangan Biro Umum
Keuangan (BUK), Mudassir, mengaku biaya yang harus dikeluarkan UTM untuk air
sudah tinggi. Total pengeluaran dari januari-oktober sebesar Rp.137.127.140,-
Rinciannya sebagai berikut; Januari Rp.16.174.000,- Februari Rp.9.353.200,-
Maret Rp. 10.265.200,- April Rp.9.751.600,- Mei Rp.21.100.340,- Juni
Rp.12.094.000,- Juli Rp.16.198.000,- Agustus Rp. 16.462.000,- September Rp.
13.356.400,- dan Oktober Rp. 12.372.400. ”Meski Begitu tetap saja belum bisa
memenuhi kebutuhan air yang ada di UTM,” keluhnya.
Mahasiswa Prodi Sastra Inggris, Goldanu Bintan Panter, menyesalkan
UTM yang sering mengalami kehabisan air walaupun tidak di musim kemarau.
”Lagipula sekarang sudah musim kemarau, tapi UTM masih saja konsisten dengan
airnya yang sering mati,” sesal mahasiswa asal Kediri tersebut. (Ham/Mee)