Air UTM: Biaya Besar dengan Suplai dan Pengelolaan yang Minim

Air UTM: Biaya Besar dengan Suplai dan Pengelolaan yang Minim

LPM Spirit - Mahasiswa
Selasa, 03 Desember 2019

Kran di Sekertariat Bersama (Sekber). Foto. Biii

WKUTM – Universitas Trunojoyo Madura (UTM) tidak mampu mencukupi suplai kebutuhan air sehari-hari. Permasalahan air sering mati sampai sekarang belum menemu titik terang, walaupun pihak rektorium mengklaim punya banyak wacana guna mengatasi masalah yang demikian. Sementara, pembelian sepetak tanah untuk mendapatkan cadangan baru sumber air menjadi alternatif dari pihak kampus.

Seperti yang dikatakan Staf Unit Layanan Pengadaan (ULP), Amrin Rozali, mengaku bahwa keterbatasan air merupakan kesalahan dari pihak kampus. Lebih jauh, pihak kampus menggunakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang jumlahnya terbatas. Selain air dari PDAM yang tidak lancar, daya tampung air di UTM juga masih minim.

Kalau itu memang kesalahan kita, belum menambah tangki air untuk lebih banyak menyimpan air dari PDAM yang sedikit, ujar Amrin saat diwawancara di ruang kerjanya (29/11).

Adapun selama ini cara yang dilakukan untuk menangani keterbatasan air, adalah dengan mengisi penuh tangka air pada hari jumat-minggu untuk menyediakan air empat sampai lima hari kedepan. Namun, cara yang demikian tidak efektif dilakukan, sebab tingginya kebutuhan masih belum seimbang dengan ketersediaan air, ”Antara kebutuhan dan ketersediaan masih belum seimbang,” ujar pria asal Sumenep tersebut.
Amrin juga mengatakan pengeboran harus dilakukan untuk menyuplai kebutuhan air. Seperti pengeboran di masjid, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dan rencana di Fakultas Hukum (FH). Namun pihaknya mengatakan bahwa pengeboran tersebut bukan solusi konkret.

Sebenarnya bukan melakukan pengeboran, melainkan pemanfaatan galian bekas pembangunan, daripada ditutup, bisa digunakan untuk penyedia air, tambahnya.

Perihal air masjid payau, Amrin mengatakan kalau hal itu tergantung dari kedalaman pengeborannya. Jika pengeborannya dalam air akan payau seperti di masjid, namun jika dangkal tidak mencukupi untuk menyuplai kebutuhan air.

Bagi Amrin, ada banyak solusi untuk mengatasi pasokan air yang minim di kampus. Seperti yang dilakukan Universitas Gajah Mada (UGM) – yang dapat merubah air bekas menjadi siap minum. Lebih lanjut cara yang dilakukan Wali Kota Surabaya, Risma, dengan menanam pohon pulai yang berfungsi sebagai penyimpanan air juga ingin diadopsi. Namun, dari kedua solusi tersebut masih terkendala tingginya biaya.

”Sementara solusi yang mungkin bisa dilakukan oleh UTM untuk mengatasi masalah demikian adalah dengan membeli sepetak tanah di daerah Kamal. Selain sumber airnya banyak, biaya yang harus dikeluarkan juga relatif murah,” pungkas Amrin.

Di tempat lain Kepala Sub Bagian (Kasubag) Keuangan Biro Umum Keuangan (BUK), Mudassir, mengaku biaya yang harus dikeluarkan UTM untuk air sudah tinggi. Total pengeluaran dari januari-oktober sebesar Rp.137.127.140,- Rinciannya sebagai berikut; Januari Rp.16.174.000,- Februari Rp.9.353.200,- Maret Rp. 10.265.200,- April Rp.9.751.600,- Mei Rp.21.100.340,- Juni Rp.12.094.000,- Juli Rp.16.198.000,- Agustus Rp. 16.462.000,- September Rp. 13.356.400,- dan Oktober Rp. 12.372.400. ”Meski Begitu tetap saja belum bisa memenuhi kebutuhan air yang ada di UTM,” keluhnya.

Mahasiswa Prodi Sastra Inggris, Goldanu Bintan Panter, menyesalkan UTM yang sering mengalami kehabisan air walaupun tidak di musim kemarau. ”Lagipula sekarang sudah musim kemarau, tapi UTM masih saja konsisten dengan airnya yang sering mati,” sesal mahasiswa asal Kediri tersebut. (Ham/Mee)