Ceritanya aku sedang duduk di beranda, ini aktivitas
wajib setiap hari saat selepas shalat Ashar. Warna senja yang memerah memantul
pada dinding rumah samping kos yang cerahnya hampir menguasai warna langit sore
hari. Satu dua orang berlalu di depanku, hanya sebatas jalan kaki. Deru
kendaraan mendesing sepanjang jalan raya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
tempatku. Di beranda aku hanya sebatas duduk melepas jenuh jika seharian hanya
di kamar. Tidak ada kopi di sampingku, aku tidak suka kopi, kopi itu pahit,
pahit itu duka, duka itu masa laluku yang jauh. Tidak, aku tidak mau
mengenangnya lagi.
Suatu kali langit
mendung, musim sepertinya akan memasuki penghujan (pikirku dalam hati). Di
udara sudah mulai kulihat capung terbang bagai pesawat, dan ngin bergerak ke
arah yang berbeda. Bagaimana dengan orang-orang di kampung saat mulai memasuki
penghujan? Tiba-tiba aku teringat kampung halaman. Kubayangkan wajah petani
berseri dan asri menyambut musim hujan yang bakal tiba. Mereka akan bersyukur
tanpa henti karena sebentar lagi tanah dan taninya akan terberkati.
Pada suatu sore
yang berbeda, gerimis turun dan jatuh satu persatu. Aku tersenyum sendiri,
tidak lama kutarik kembali senyumku sebelum orang-orang melihat dan mengira aku
tidak waras. Di benakku, orang-orang kampungku sedang girang tertawa dan tak
lupa bersyukur. Aroma tanah tentu akan selalu dirindukan, asri tanpa
polusi dan asap yang mencemarkan. Aku
masih duduk di depan kos, gerimis masih turun, kini semakin lebat. Kubayangkan
lagi petani di kampungku semakin riang dengan tawa yang lepas dan hebat.
***
Seperti biasa, sore
ini aku duduk menghadap jalan sepanjang gang yang sempit dengan perumahan yang
padat. Sudah tak kulihat pantulan cahaya senja langit mendung di gedung sebelah
kosku. Jalanan sepi dan setiap orang malas keluar rumahnya. Mungkin mereka
berpikir, apa yang mesti dicari pada sore hari yang kehilangan warna langit
kuning kemerahan itu? Sangat jelas antara Kota dan Desa, dua tempat yang
membedakan nasib seseorang ini benar-benar memiliki letak kesenangan dan
kenyamanan begitu berbeda.
Di kota,
orang-orang jarang menyaksikan senja sore hari secara langsung dan utuh karena
adanya gedung-gedung yang memiliki jarak yang panjang antara dasar dan
ujungnya. Ini sebabnya, orang-orang tak pernah berharap melihat senja karena
sudah pasti cahaya yang merah merona itu membentur gedung-gedung pencakar
langit. Apalagi di kehidupan kota padat, belum tentu orang kota memikirkan
senja dengan langit yang berhiaskan burung-burung kembali ke sarangnya. Malah belum
tentu di kota ada burung dan sarang. Hanya sedikit orang tersadar akan senja dengan
cahayanya yang hanya dapat dinikmati dari pantulannya yang menerpa
dinding-dinding gedung.
Berbeda dengan
Kota, di desa orang-orang lebih merasakan warna dunia yang jauh dari jalanan
sesak oleh polusi-polusi yang mengepul dari knalpot kendaraan. Setiap sore
orang-orang bisa melihat dan menyaksikan senja secara utuh yang cahayanya
menembus celah-celah daun dan pepohonan yang lebat serta padat. Anak kecil
sampai yang dewasa merasakan cahaya keemasan yang memancar dari barat. Di desa
orang-orang lebih peduli dengan setiap hal yang di kota tidak diperhatikan, seperti
burung terbang yang sedang pulang ke sarangnya sore hari.
***
Sore ini aku duduk
di wajah pintu ruang depan yang menghadap ke teras. Kulihat halaman, hujan
sepenuhnya mengaliri tanah-tanah, selokan, dengan sesekali percikannya jatuh di
langkan dan hampir sepenuhnya basah oleh terpaan angin pada hujan. Aku tersenyum dan merenung;
betapa bahagianya orang kampung halamanku hari ini. Kurasakan hujan mengaliri
halaman luas yang sebelumnya berdebu, serta sawah rerumputan yang menari
gembira, meski kenyataannya gerak itu ditimbulkan oleh hujan itu sendiri. Apalah
peduli rumput dari mana gerak itu
berasal, yang pasti tanaman pada tiap-tiap petak tanah petani dialiri dan
dijatuhi air menyeluruh.
Aku masih tetap
berada di muka pintu yang terbuka itu seraya dalam hati berkata; hujan
terbuat dari tawa riang petani di alam khayal diriku sendiri.
Yogyakarta, 2018
Hendri Krisdiyanto lahir di Sumenep,
Madura. Alumni
Annuqayah daerah Lubangsa. Karyanya pernah dimuat di: Minggu Pagi, Kabar
Madura, Koran Dinamikanews,
Nusantaranews, Radar Cirebon, Radar Banyuwangi,
Tanjungpinangpos, Buletin Jejak, Tuban Jogja, Flores Sastra, Apajake.id, Buletin
kompak, Jejak publisher, Majalah Simalaba, Antologi bersamanya :Suatu Hari Mereka Membunuh Musim(Persi,
2016), Kelulus (Persi, 2017),
The First Drop Of Rain, (Banjarbaru, 2017), Bulu Waktu(Sastra Reboan) dan Suluk Santri, 100 Penyair Islam Nusantara
(Hari Santri Nasional, Yogyakarta, 2018) Sekarang aktif di Garawiksa Institute,
Yogyakarta.