" Zahra adalah seorang
pelacur dengan mata yang cerdas. Tubuhnya mungil. Wajahnya adalah
kombinasi antara kecantikan alami pribumi dan modern, serta gaya pakaian
fashionable yang khas. Semua memancar seperti spektrum cahaya yang
ditembakkan lampu sorot ke luasnya panggung di gedung opera".
Kalau
bukan pelacur, mungkin dia adalah perempuan nomor satu yang menjadi
jawaban sekaligus tantangan bagi para tualang singgah untuk memaksa
mereka menurunkan jangkar. Jika hidupku tak sial dan miskin, aku akan
mengeluarkannya dari rumah-rumah gila itu. Membawanya mengembarai Eropa
yang cantik, mencari rumah kita sendiri agar bisa tetap hangat dari
musim yang berputar patuh.
Bangunan rumah akan dibuat sedikit sempit, tapi berlantai dua, lengkap
dengan balkon. Selain agar bisa tetap hangat, perkakas kita juga tidak
terlalu banyak. Dari balkon lantai dua itu akan kita pakai menikmati
sore bersama.
Kamar kita ada di atas. Dengan jendela yang besar untuk menangkap banyak
cahaya matahari menerobos masuk dan setia membangunkan pergumulan
kita.
Dari
jendela itu pula kita menikmati redup lelampu di gang-gang sempit
kampung petani.
Meski harus hidup tanpa cinta, kita berdua bisa tetap bahagia sejauh
tetap bersama. Membawanya memamah malam di sebuah cafe pinggir pantai.
Menyaksikan dia banyak bercerita tentang apa saja. Sementara aku
mengirit bicara untuk bisa menyelami lebih jauh. Menikmati wine sembari
melihatnya bersantap malam.
Tetapi, kegagalanku sebagai lelaki yang mestinya bisa jadi dompet hidup
untuk perempuan seperti Zahra. Aku tetap si miskin kurang cinta yang
hanya bisa sedih melihatnya jadi piala bergilir untuk lelaki yang mampu
membeli tubuhnya. Membeli malam-malam yang indah bersamanya.
Aku kembali terpekur memikirkan bagaimana cara lelaki macam aku bisa
mendapat cintanya. Hampir-hampir tak ada peluang bagiku. Gajiku juga tak
seberapa untuk bisa menikmati bergula-gula. Kita hanya teman biasa
tanpa hubungan spesial.
Aku ingat saat pertama kali berkenalan. Waktu itu Zahra datang meminjam
buku dari rumah baca yang setiap hari kujaga.
Rumah baca ini sebenarnya disediakan pemerintah untuk anak-anak di
daerah sekitar lokalisasi Dolly, Surabaya. Buku-buku yang disediakan
hanya seputar buku pelajaran, cerita-cerita anak, komik dan buku
dongengan. Sehingga ketika pertama kali datang kemari, Zahra
mengernyitkan dahi dan nampak kecewa karena mungkin tak mendapat buku
yang ia inginkan.
“Tak adakah novel-novel dewasa yang bisa aku baca. Milik Pram,
barangkali.
Atau
karya-karya Ernest Hemingway.”
Aku terkesiap sejenak. “Untuk apa seorang PSK gang Dolly mencari buku
macam itu”. Aku membatin.
“Oh, itu... Tidak ada kalau karya-karya seperti itu di sini. Di rumah
aku punya koleksi pribadi buku-buku yang kau maksud. Besok kalau kau mau
datang lagi kemari, aku bisa membawakannya untukmu.” Jawabku, sambil
membetulkan letak kaca mata.
Kau tersenyum simpul. Tanpa segan, tanganmu meraih buku yang ada di
tangan kiriku. Membolak-baliknya dan mengamati sampulnya. “Siapa
penulisnya?”
“Tolstoy.”
“Boleh kalau ini kupinjam?”
“Tentu saja boleh,” Jawabku sekenanya dan melupakan bila aku sendiri
belum tuntas membaca.
Lalu kau menyobek secarik kertas dan menuliskan nomor ponsel beserta
namamu.
“Zahra. Ah, nama yang terlalu cantik untuk pekerjaanmu di lokalisasi
ini. Tapi sayang sekali...” Aku menggumam.
Kau berlalu dari hadapanku. “Kirim saja namamu di nomor itu. Aku pasti
menyimpannya. Karena mungkin aku akan sering kemari.” Lalu Zahra
menghilang di sebalik kerumun orang-orang lewat.
Sepulang kerja, aku selalu menuntun sepeda motor melintasi gang-gang
sempit yang ujungnya berakhir di wisma yang berada tepat di tepi jalan
utama. Dari kaca etalase, Zahra nampak menekuri buku yang baru saja
dipinjamnya dariku. Ia nampak cantik dengan pakaian setengah jadi. Tapi
aku tak bisa lama, aku harus pulang. Tubuhku letih. Lagipula aku tak
sanggup bayar.
Sampai lewat tengah malam, aku masih belum bisa melepaskan pikiranku
dari bayangan Zahra. Entah mengapa mataku jadi tak mengantuk. Biasanya
di jam-jam seperti ini aku sudah dibawa mimpi.
Bayangan wajah Zahra memenuhi pikiranku. Bagiku Zahra adalah perempuan
yang terlalu istimewa bila harus ada di rumah gila itu. Apa sebenarnya
yang terjadi padanya? Tapi bukankah di Dolly banyak perempuan yang lebih
cantik darinya. Apa aku terlalu berlebihan?
Sebenarnya banyak pula PSK yang juga senang meminjam komik di tempatku
bekerja. Biasanya mereka membawanya ke wisma, atau menemaniku menjaga
rumah baca sambil mengobrol panjang tentang banyak hal. Tapi baru Zahra
yang bisa membuatku kelimpungan seperti ini.
Mungkin
karena Zahra adalah satu-satunya perempuan yang memiliki mata begitu
dalam dan nampak cerdas? Atau selera bacanya yang tidak umum seperti PSK
lainnya?
Sebegitu pahitkah hidup ini hingga perempuan macam Zahra harus tersesat
di sana?
Aku jatuh tertidur.
*
Sudah dua hari Zahra tak datang. Aku kawatir dengannya. Bukan soal buku
yang kucemaskan.
Apa yang terjadi padanya? Aku pernah mengirim SMS, tapi tak dibalas.
Pernah pada suatu kali kutelfon, tapi bukan dia yang mengangkat. Seorang
pria dengan suara berat yang berbicara. Dadaku sesak dihantam cemburu.
Untuk menghibur diri, aku yakinkan diriku bila perempuan yang kupikirkan
sekarang adalah PSK yang setiap malam bisa melayani banyak lelaki. Aku
tidak mungkin mengharapkannya. Mungkin itu tamunya yang iseng menjawab
telfonku.
“Kok saya tidak pernah melihat Zahra, ya. Kemana dia, Las?”
“Zahra sedang sakit, Her.” Ujar Lastri, kawan sekamarnya.
Pikiranku kembali melayang tak tentu arah. Aku mencemaskan Zahra.
Mungkin aku juga mencemaskan diriku yang takut bila harus jatuh hati
dengan perempuan penjaja cinta. Apa kata keluarga di kampung. Aku adalah
anak tertua yang jadi tulang punggung keluarga dan sekaligus mesti
memberi contoh untuk dua orang adik di rumah. Meski keluarga di rumah
tau aku bekerja di rumah baca milik pemerintah di dekat lokalisasi, tapi
bukan berarti aku bebas jatuh cinta di sini.
“Kau kenal Zahra juga?”
Pertanyaan Lastri membuyarkan lamunanku. “Ya, dua hari yang lalu dia
meminjam buku kemari.” Kataku sambil menepis paha Lastri yang duduk
seronok.
Menjelang sore, ketika aku mengemasi barang-barangku dan bersiap pulang,
seorang perempuan mengetuk pintu. Aku menoleh cepat. Zahra berdiri di
pintu. Dia mengerling padaku dan tersenyum.
“Mau tutup ya?” Ucapnya sambil melangkah masuk rumah bacaku. Kini ia
berdiri tepat di depanku.
“Tidak juga. Hanya bersiap-siap saja.”
“Aku hanya ingin mengembalikan buku yang kupinjam kapan hari.” Aku tak
menjawab. Mataku hanya mengikuti tangannya meletakkan buku di atas meja.
“Beberapa hari ini aku sakit. Tapi aku sudah rampung membacanya.” Mataku
kembali mengikuti gerak tubuhnya yang nampak tak nyaman. Wajahnya juga
nampak lebih pucat ketimbang dua hari yang lalu.
“Kau ada waktu, Her? Sepertinya bicara di warung depan lebih
menyenangkan.” Zahra melangkah keluar ruangan. Di depan pintu ia kembali
menoleh dan tersenyum. Aku mengikutinya dengan patuh. Kusambar tas di
meja dan meninggalkan rumah baca tanpa sempat mengunci pintunya.
Di warung, semilir angin sore mulai berhembus. Zahra nampak kedinginan.
Aku mengambil sweater di tas dan memberikan padanya. Ia tak menolak dan
memakainya.
Banyak orang memandang sinis pada kami. Juga Mak Jah, pemilik warung,
memandangku tak suka. Ia mengira aku menjalin hubungan dengan Zahra.
Mungkin kegugupanku tak bisa menipu mata Mak Jah.
Aku sendiri sering minum kopi di sini dengan Lastri.
Tapi
sikap Mak Jah tidak seperti ini. Biasanya kami tertawa terkekeh
bertiga. Membicarakan banyak hal-hal lucu di sekitar kita. Dan kupikir,
Mak Jah sebenarnya peduli denganku. Sebab pada suatu ketika, di
sela-sela canda tawa, ia mengingatkanku untuk tidak jatuh cinta dengan
PSK di sini bila bukan sama-sama orang hitam, atau sama-sama penghuni
dunia malam. Dan aku mengamini hal itu.
Dari pertemuan sore itu, berlanjut pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia
membolak-balik keyakinanku dengan begitu mudah. Caranya memelas,
bercerita, dan menggamit lenganku ketika hendak ke warung Mak Jah. Semua
seperti mimpi buruk yang tiba-tiba ada.
Dengan Zahra, hitam putih itu tidak ada lagi. Aku sadar telah melanggar
batas-batas yang kuyakini. Tiba-tiba aku jadi tak peduli dengan itu
semua: pada pandangan sinis orang-orang yang lewat, pemilik wisma, warga
kampung, dan juga Mak Jah. Pesona Zahra lebih memikat. Menjadikan semua
cibiran dan tatapan-tatapan tak suka hanya seperti suara lalu-lalang
kendaraan yang mereda perlahan.
“Terimakasih, Her. Entah kenapa lega sekali rasanya bisa mengenalmu. Aku
merasa punya kawan yang benar-benar mau mengerti tentang apa yang
kurasakan.”
Mata Zahra memandangiku lekat-lekat seperti sedang menunggu jawaban.
Menghadapi matanya yang cerdas membuatku hanya mampu mengangguk dan
tersenyum karena bingung hendak berkata apa. Tanganku merogoh tas dan
mengeluarkan beberapa buku karya Hemingway lalu menyerahkan padanya.
Zahra hanya mengambil salah satu dari beberapa buku yang aku berikan.
“Satu saja, Her. Biar aku tetap bisa sering bertemu kamu.” Lagi-lagi aku
hanya mampu tersenyum simpul. Zahra menata buku-buku yang telah
kukeluarkan dan kembali memasukkannya kedalam tasku.
Kini
aku mengerti mengapa Zahra bisa sampai ketempat ini. Ia meninggalkan
rumah, mantan suami dan anaknya lantaran suaminya menyeleweng dengan
bosnya di kantor. Suaminya memilih meninggalkan Zahra untuk menikah lagi
dengan atasannya. Meskipun suaminya kerap memberikan uang untuk biaya
hidup seperti biasanya, namun rasa sakit hati Zahra membuatnya arogan
untuk tidak memakai uang yang diberikan suaminya. Uang itu hanya
menumpuk di bank.
Tak lama setelah perceraian dengan suaminya, usaha Zahra dibidang rotan
harus gulung tikar. Rekan bisnisnya membawa semua uang dari hasil rotan
yang semakin menanjak naik.
Awalnya Zahra kelimpungan dengan keadaan itu dan membuat ia terpaksa
berhutang ke sana kemari untuk kembali memulai usaha.
Zahra
kembali memulai usaha rotannya dari nol. Tapi Zahra salah langkah
karena harus menghutang pada sebuah bank swasta yang memberikan bunga
tinggi pada pinjamannya. Belum lagi lesunya pasar harus membuat Zahra
kembali gulung tikar.
Satu-satunya rumah warisan keluarganya juga turut di jual untuk melunasi
hutang meskipun belum semuanya tuntas. Pamannya yang tidak punya anak
menawarkan merawat anaknya agar tidak semakin menambah beban Zahra.
Tawaran itu ditolaknya dengan halus, karena ia ingin membesarkan buah
hatinya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Lagi pula ia
ingin membuktikan bila ia sanggup untuk hidup sendiri tanpa bantuannya.
Dan akhirnya kesulitan hidup membawa Zahra sampai kemari.
Pikirku, bodoh sekali lelaki yang sudah meninggalkan perempuan secantik
Zahra. Benar-benar putus akal itu orang. Kalau saja aku berhasil
mendapatkan sedikit uang untuk mengeluarkannya dari pelacuran ini, aku
tak akan membiarkannya terlunta-lunta. Akan kusayangi dia sepenuh
diriku.
Tak terasa sudah tiga bulan hubunganku dengan Zahra semakin dekat.
Hampir
setiap hari kita bertemu. Bila masih rindu, aku menelfonnya di
sela-sela jam kerjanya. Kita membicarakan banyak hal seputar hidupku dan
hidupnya. Terkadang di tengah pembicaraan, ia kerap memutus telfon
karena harus melayani tamu. Sakit sekali rasanya harus membayangkan dia
melayani lelaki-lelaki yang tidak dia cintai demi ia dan anaknya. Pada
saat-saat seperti itu, aku merasa menjadi lelaki yang tak berguna.
Jangankan untuk menolongnya, hidupku pun masih senin kamis.
Suatu ketika, aku mengumpulkan uang dari sisa tabungan untuk gajiku
telah cukup banyak, aku memutuskan untuk turut pula bergula-gula
dengannya. Meski hanya untuk beberapa jam saja, aku ingin sesekali
merasakan bercinta dengannya. Aku tak kuat hanya membayangkan dia
bersama lelaki-lelaki hidung belang yang tak dia cintai. Tapi, apa dia
mencintaiku?
Di depan pintu wisma, aku memberanikan diriku untuk masuk. Beberapa
germo mengacuhkanku. Mungkin aku sudah akrab di mata mereka, meskipun
tak satu pun dari mereka mengenal namaku.
“Her, tumben. Ada perlu apa? Mengambil buku atau...?” Tanya Hadi,
pemilik wisma, dengan mata penuh selidik.
Aku tak menjawab pertannyaannya kecuali sebuah senyum kecut. Meskipun
aku bekerja di sekitar sini, aku masih rikuh memasuki wisma tempat Zahra
bekerja. Tubuhku gemetar dan keringat dingin mengalir dari dahiku.
Zahra
yang sedang duduk di sofa hanya menatapku tak percaya. Ia seperti tak
percaya bila orang sepertiku bisa memasuki wisma. Aku juga mengacuhkan
Zahra dan menoleh pada pemilik wisma dan memberi isyarat bila aku ingin
bergula-gula. Meskipun Hadi membisu, aku tau dia menangkap isyarat
dariku.
“Yang mana?” Tanya Hadi, rikuh.
Tanpa bicara, aku menoleh pada Zahra. Dan Hadi langsung mengerti.
“Kamar dua.” Tukasnya.
Di dalam kamar remang, aku duduk di kasur dan merasai tubuhku semakin
gemetar. Mataku menjelajah seluruh isi ruangan untuk membunuh rasa
cemas. Tak berapa lama pintu diketuk. Zahra masuk dalam kamar dengan
membawa sebuah handuk dan perlengkapan mandi yang diletakkan dalam
sebuah gayung plastik.
“Her, kau ada masalah? Kau tak salah masuk tempat kerjamu, bukan?” Kata
Zahra, sambil terus berdiri di balik pintu.
“Maaf, Zahra. Aku tak bisa lagi membohongi perasaanku.
Dari
kedekatan kita selama tiga bulan ini, aku tidak bisa menafikkan
perasaanku padamu. Terus terang aku...”
Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, Zahra memelukku dengan sepenuh
dirinya. “Iya, Her. Aku tau. Aku juga merasakan hal yang sama denganmu.
Aku..”
Kata seperti tercekat begitu saja di tenggorokan. Aku memeluk erat
tubuhnya dan mengecup mesra pada keningnya. Waktu itu, semua menggelap.
Aku hanya merasakan tubuhku banyak pelukan, ciuman dan pergumulan yang
membuat kita sama-sama menjadi purba.
“Herman, apa kau bermaksud membawaku keluar dari sini? Apa aku bisa
mempercayai cintamu?” ucap Zahra setengah meracau.
Aku
mewakilkan jawabanku dengan mengecup mesra keningnya. Ia tersenyum
dengan begitu manis dan tidur dalam dekapanku.
Dua minggu sejak malam itu, Zahra tak lagi datang ke tempatku bekerja.
Buku terakhir yang ia pinjam telah ia titipkan pada Lastri dua hari yang
lalu. Sebelumnya ia telah pamit padaku bila ia pulang kampung untuk
menemui anaknya. Ia berjanji hanya pergi selama satu minggu. Dua minggu
berlalu, ia tak kunjung datang lagi.
Tiga bulan berlalu dengan resah. Sejak kepergiannya ponselnya sudah
tidak lagi aktif. Lastri pun tak tau menahu dimana dia berada, kecuali
bila semua hutangnya di wisma telah lunas terbayar. Sejak saat itu pula
aku mulai mencoba memaafkan diriku dan keadaanku yang tak mampu membantu
masalah perekonomiannya. Tapi, aku juga tak bisa bohong bila perasaan
bersalahku kerap menderas tiba-tiba.
Mungkin kepergianmu adalah hal yang wajar.
Apa
aku bisa diandalkan sehingga aku bisa mempersoalkan kepergianmu. Tak
serambut pun aku bisa membantumu meredakan luka kecuali koleksi
buku-bukuku yang rutin kupinjamkan.
Pada suatu sore, sebelum aku menutup tempat kerjaku, sebuah surat datang
dari pengantar pos. Aku terkesiap ketika membaca nama pengirimnya.
Herman yang baik.
Maaf sebelumnya. Kau tau, bukan? Hidup tak pernah lepas dari
pelacuran-pelacuran. Atas nama apapun itu, pelacuran tak pernah bisa
dimaafkan kecuali oleh Tuhan dan orang yang mencintai kita. Kau
mencintaiku bukan? Dan aku pun mencintaimu, Her.
Aku telah menikah sebulan yang lalu dengan seorang yang mampu mengangkat
hidupku dan berjanji menanggung hidupku dan anak-anak. Mungkin aku
dendam dengan suamiku yang dulu. Tapi biarlah. Sekali-kali dendam harus
dituntaskan, bukan? Kau pun boleh menuntaskan dendam padaku yang telah
menghianati cintamu. Maafkan.
Citra D. Vresti Trisna,
lahir di Surabaya. Menjadi mahasiswa di Universitas Trunojoyo Madura,
jurusan Komunikasi Politik. Bergiat di Sekolah Menulis Bangkalan, Teater
Sepatu Biru dan pecinta lingkungan ARBIMAPALA. Selain itu juga aktif di
pers kampus Spirit Mahasiswa. Puisinya terangkum dalam antologi
bersama, seperti: Festifal Bulan Purnama ( Mojokerto, 2010 ) dan cerpen,
kolom, esainya dimuat beberapa majalah mahasiswa, serta beberapa
buletin sastra.