Ilustrasi: Time
Sekitar seminggu terakhir rentetan kejadian teror bom di beberapa daerah
begitu marak membuat resah. Dan lagi-lagi, kelompok yang dituding menjadi dalang
rentetan kejadian itu adalah Jamaah Asharut Daulah. Selalu saja golongan
beragama haluan ekstrimis yang disalahkan publik dengan dalih perpecahan umat.
Hari minggu lalu, ketika suasana masih riuh, kabar yang meluas melahirkan
presepsi serta asumsi hasil dari informasi yang dikunyah mentah-mentah dari
media. Saat itu, kecaman dan gerakan-gerakan baru bermunculan di masyarakat,
seperti #kamitidaktakut dan lain sebagainya. Dari sana pula, muncul beragam
asumsi masyarakat yang masih menerka-nerka dan penuh ketakutan akan konspirasi.
Asumsi pengalihan isu, politik adu domba, konflik yang sengaja diciptakan agar
ada kebijakan baru yang menguntungkan beberapa oknum, pun yang mengatakan jika
kejadian di Polrestabes Surabaya adalah imbas dari kejadian di Mako Brimob,
Kelapa dua, Jakarta. Setidaknya itulah yang menjadi pergunjingan di kalangan
masyarakat awam sebagaimana yang diamini Kapolri saat konferensi pers di
Surabaya.
Lalu, sebenarnya apa yang sedang
terjadi?
Hari Minggu itu, saya sedang berada di Lamongan, di PP Sunan Drajat,
tepatnya. Di sana saya mendengar K.H Abdul Ghofur bertausyiah, satu pesan yang bisa saya ambil dari tausyiahnya adalah,
kita terlalu sibuk mengurus hal-hal yang kecil sehingga lupa pada hal yang
besar. Kita sibuk merisaukan bom-bom kecil yang terjadi saat ini, sedang di
Suriah dan Palestina bom yang diledakkan jauh lebih besar. Belum lagi satu bom
yang bernama ideologi, bom yang mampu menghancurkan sampai tujuh turunan. Bom
inilah yang menimbulkan berbagai gerakan pemberontakan pada siapapun yang tidak
sejalan.
Masih dengan pertanyaan yang
sama, sebenarnya apa yang terjadi?
Jika pihak kepolisian Indonesia berasumsi bahwa rentetan kejadian
berawal dari Mako Brimob, maka banyak kejanggalan yang perlu dikaji ulang. Sebagaimana
tanggapan pihak kepolisian yang menyatakan sebab dari kerusuhan tersebut
berasal dari masalah makanan.
Maksud saya seperti ini, tahanan atau napi adalah orang yang biasa lapar
dan dituntut untuk tahan, tidak mungkin cuma gara-gara makanan. Saya sempat
melihat beberapa video yang beredar di youtube pasca kejadian terjadi. Sempat ada
satu video yang saya kira direkam oleh salah satu tahanan. Dalam video itu
terdengar seruan bahwa, kitab mereka telah diinjak, sehingga mereka
mendeklarasikan perang. Ada pula yang sempat live di instagram namun, tidak berselang lama akun tersebut hilang.
Lalu, kejanggalannya seperti ini, kenapa tahanan bisa membawa ponsel,
dan bagaimana bisa ratusan napi lepas dari kurungan mereka. Padahal, idealnya
sebuah penjara memiliki keamanan yang mewadahi. Terkait kejanggalan ini saya
tidak akan memberikan kesimpulan apapun. Yang jelas semua sudah terjadi. Dan
Indonesia sedang sakit.
Lalu, benarkah kejadian ini atas
nama agama? Tidak, esensi dari agama adalah membawa kedamaian, jika belum
damai, maka ada yang salah dalam beragama.
Jika memang teroris-teroris itu berasal dari kelompok yang mengatasnamakan Islam, seharusnya perilaku mereka tidak menyimpang dari Muhammad dan kitab yang
dibawanya. Sebagaimana yang telah diwahyukan bahwa Muhammadlah sebaik-baiknya
suri tauladan.
Diriwayatkan bahwasannya beliau –Muhammad – tidak pernah memusuhi siapapun.
Bahkan beliau senantiasa menyuapi seorang
kakek buta di pasar, meskipun kakek buta itu senantiasa memaki dirinya. Ya,
kembali lagi, jika memang Al-quran dan Muhammad yang dianut maka tidak akan
terjadi tindak kriminalitas. Selain itu, sudah mutlak bahwa, masuk Islam itu
dengan selamat dan aman.
Bagaiamanapun tindakan teror semacam bom-bom di Surabaya itu tidak
dibenarkan, meskipun mereka berteriak kafir pada sasaran yang akan dijadikan
target pengeboman. Sebab jika menelaah pengertian kafir kembali, setidaknya,
ada dua macam pengertian dari kafir: Kafir Harbi, kafir yang memusuhi islam dan
boleh diperangi. Yang kedua, Kafir Dzimmi, kafir yang tidak memusuhi islam, dan
tunduk kepada negara khilafah sebagai warga negara, meskipun tetap pada
keyakinan yang mereka anut. Kemudian, akan timbul satu pertanyaan, apakah
golongan yang tidak sejalan dengan golongan mereka adalah kafir harbi, dan
siapakah yang kafir sebenarnya?
Sejujurnya, saya tidak butuh jawaban atas pertanyaan yang saya
lontarkan, pun tidak menuntut agar sepemikiran dengan saya, apalagi anda
membuat asumsi yang tidak-tidak. Namun, jika memang kasus yang tengah trending
ini murni atas nama ‘agama’, lalu kemana mereka saat ulama diintimidasi, cadar
dikekang, Tidakkah yang dilakukan hanya akan mencemarkan nama agamanaya? Perlu
dikaji ulang.
Dan rebut-ribut tentang RUU terorisme yang katanya menjadi salah satu
sebab teror. Jujur, saya sempat berpikiran buruk terkait RUU tersebut yang
sempat tertunda karena belum ada deskripsi yang pasti tentang teroris itu
seperti apa. Seperti yang dikatakan ketua DPR, Bambang Soesatyo baru-baru ini,
bahwa kendala disahkannya Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Teroris, revisi Undang-undang No 15 Tahun 2003 karena belum ada deskripsi tentang
teroris dan tujuannya.
Dari sana, pikir buruk saya seperti ini, pemerintah sengaja membuat
momentum agar RUU tersebut segera disahkan. Ya, semoga saja nantinya negara ini
tidak lari ke sekulerisme.
Lagi pula, saya yakin orang-orang di atas lebih mengetahui dari yang kita
ketahui. Sayangnya, mereka lebih sering menyembunyikan informasi untuk
kepentingan mereka sendiri. Meskipun hal seperti itu terkadang perlu dilakukan
jika untuk kemaslahatan bersama.
Adapun terkait solusi yang sering kita dengar untuk menjaga perdamaian,
menjaga kerukunan, menghargai perbedaan, dan bla-bla yang lain, saya rasa cukup
mudah, untuk diucapkan saja. Namun, upaya untuk mendapatkan semua itu tidak
pernah kita rasakan bersama. Tentunya, untuk permasalahan seperti ini saya
menyalahkan pemerintah, toh, mereka yang memiliki kuasa penuh berjalannya
negara. Tidak masalah saya dikatakan orang yang bisa menyalahkan saja, kenapa
memang kalau saya suka menyalahkan pemerintah?
Meskipun begitu, saya juga menawarkan satu saran, yaitu menjadi pribadi-pribadi
yang egois. Egois yang saya maksud di sini yaitu menguatkan apa yang kita
yakini, jika menyakini sebuah paham agama, maka perkuatlah dengan menambah
keyakinan dengan niat semata untuk beribadah. Saya yakin jika semua menerapkan
hal ini, maka perubahan akan dimulai dari diri sendiri. Selanjutnya,
kebersamaan akan mengikuti. Logikanya, hanya orang ngawur yang mengharapkan
kebersamaan sedang dirinya sendiri masih jauh dari kata baik.
Terakhir, jika pelaku pengeboman adalah golongan yang didoktrin siap
mati untuk golongannya, lalu kenapa pemerintah tidak mampu membuat warga negara
fanatik kepada negaranya? (Tim/Juk)