Untuk menjadi orang besar itu tidak
mudah, sebaliknya untuk tiba-tiba mendadak menjadi kecil. Semua butuh
energi yang luar biasa besar. Sebab kita akan membutuhkan “biaya” yang
sangat banyak untuk menjadi besar, begitu juga untuk tiba-tiba menjadi
kecil. Mungkin kita bisa berkaca pada R Timur Budi Raja, penyair asal
Bangkalan Madura. Sekenario hidup telah membawa Timur begitu jauh
terjerembab pada kubangan yang membuatnya terpaksa menyepi.
Ya, kalau ku pikir, semua orang memang butuh untuk menyepi dan
berkontemplasi dengan suasana baru
.
Suasana
untuk kembali mengumpulkan kekuatan untuk hidup, atau untuk memilih
menyerah pada lembaran-lembaran kertas untuk meredakan sedikit dahaga
kehidupan orang-orang di sekitarnya. Memang kita tak bisa menyangkal
bila uang bukan segalanya, tapi apa semua orang juga berpikir hal yang
sama. Uang memang membuat banyak kehidupan itu jauh berubah.
Dulu, pada suatu sore, awal mula ketika aku mulai ingin serius untuk
belajar sastra, aku membaca karya-karyanya, terutama proses kreatifnya,
yang terangkum dalam kumpulan puisi dewan kesenian Surabaya. Di sana aku
banyak menemukan sisi kesunyian hidupnya. Juga dengan kamarnya yang
dalam narasinya digambarkan sebagai salah satu bagian terpenting dari
karya-karyanya.
Mungkin
pada saat itu, adalah masa puncak kepenyairan dan eksistensinya di
dunia kesenian dan kepenyairan. Dan setahuku tentang potongan dunia
kesenian adalah tempat beredarnya uang receh yang menghambur bebas atas
nama solidaritas. Ku pikir ada benarnya juga. Aku mengenalnya dalam
sebuah kesempatan yang baik di musim yang busuk, dimana kita sama-sama
tidak mempunyai rokok untuk saling bicara. Ya, pembicaraan kita selalu
dimulai dari rokok, dan di akhiri pula oleh rokok.
Masa pertemuanku dengannya bisa di bilang adalah masa diamana Timur
hampir tenggelam. Berbeda seperti pada saat aku belum mengenalnya, dan
itu adalah masa kejayaannya sebagai seorang penyair.
Setahuku,
dari yang kuamati selintas-selintas, aku menemukan kesunyian yang asik.
Tenar dalam kemelaratan hidup sudah lebih dari cukup buatnya. Pentas
dan undangan membaca puisi, dan seminar-seminar kacangan kelas mahasiswa
sudah lebih cari cukup untuk kepuasan batinnya. Setahuku, ia tak pernah
perduli untuk soal materi. Memang penyair-penyair hijau yang masih
kenal idialis tidak terlalu menomor satukan materi, dan dia termasuk di
dalamnya.
Pekerjaan yang tak bisa membuatnya sedikit lebih kaya sudah dia lakoni
secara sadar. Juga dengan persoalan kepenyairan yang tak pernah bisa
membuatnya tenar dan dikenang banyak orang. Sebab dunia kepenyairan dan
kesenian tak kalah busuk dengan politik. Cuma bedanya yang beredar
adalah uang receh untuk sekedar beli rokok, kopi dan sesekali mabuk
dengan miras murahan.
Sekarang dunia telah menjungkir balikkan hidupnya.
Dunianya
yang sunyi dan asik berubah menjadi muram dengan cita-cita dangkal
lembaran kertas. Keyakinannya pada kesenian telah kalah dan di ganti
dengan dunia keluarga yang mengkrangkeng dan mengebiri kebebasannya. Ia
telah jauh lumpuh dengan stereotipe yang bersumber dari orang-orang di
sekitarnya yang konservatif. Sekarang tidak ada yang bisa dilakukannya
kecuali terus berdiam. Mungkin sekarang ia sedang mencari
puntung-puntung rokok untuk dihisap kembali untuk sekedar membakar
suntuknya.
Tak ada yang tau apa dia akan berhasil keluar dari kerumitan hidup, atau
semakin terpuruk.
Kontemplasi
dan sakit mata paling tidak membuatnya semakin terpenjara dalam
kamarnya. Kamar-kamar yang selalu ia pakai menulis pada saat puncak
kejayaannya. Kamar dengan langit yang penuh peta-peta cucuran air hujan
yang dulu membawanya pada sunyi yang asik, sekarang justru membuatnya
semakin tercekik.
Menunggu musim dan angin yang baik untuk bisa kembali bangkit. Menemui
kegelisahannya. Sajak-sajak. Juga ketenaran dengan uang receh yang
berhamburan. Atau bersamaku dengan kepulan asap-asap rokok untuk
berdiskusi soal Camus, Marx, Multatuli, atau orang besar lainnya.
Seperti kata Plato, cuma orang besar yang akan pantas di kenang. Tapi
Timur bukan orang besar. Bukankah penilaian tentang seseorang itu besar
atau tidak adalah penilaian picik dari kehidupan. Mungkin dari sini aku
akan mengenangnya. Sekalipun pada batas-batas tertentu.
Cafe With Art, 21 Februari 2011
Citra D. Vresti Trisna