WKUTM — Kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah di seluruh kementerian, termasuk sektor pendidikan, menuai berbagai tanggapan dari dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang menyoroti dampak efisiensi anggaran terhadap pendidikan, transparansi pengelolaan dana, serta respons masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
Merlia Indah Prastiwi, dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) UTM, menilai adanya efisiensi anggaran tidak seharusnya berdampak pada sektor pendidikan.
“Jika pemangkasan anggaran justru menghambat akses pendidikan dan beasiswa, ini menjadi kontraproduktif,” tulisnya via WhatsApp (18/2).
Di sisi yang lain, Yahya Surya Winata, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UTM, menilai pemangkasan anggaran ini merupakan strategi pemerintah dalam merealokasi prioritas pembangunan. Yahya meyakini kebijakan tersebut tidak akan berdampak langsung pada akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi lantaran sudah adanya pemberitahuan oleh Menteri Keuangan yang menegaskan bahwa anggaran beasiswa baik di dalam dan luar negeri tidak akan dikurangi.
“Sempat ada isu pemotongan anggaran beasiswa, namun Menteri Keuangan sudah menegaskan bahwa anggaran beasiswa dalam dan luar negeri tidak akan dikurangi. Artinya, akses pendidikan tetap terjaga," jelas dosen asal Kediri tersebut (20/2).
Kritik Alokasi Efisiensi Anggaran
Lebih lanjut, Merlia mengatakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan salah satu sasaran alokasi anggaran, tidak efektif lantaran banyak menyedot anggaran. Menurutnya, program ini perlu dilakukan peninjauan ulang, karena penerapannya belum merata dan kurang tepat sasaran.
“Jika program ini tetap dijalankan, sebaiknya difokuskan dulu ke daerah tertinggal yang benar-benar membutuhkan tambahan gizi,” tambahnya.
Selain itu, dosen pengampu mata kuliah Perencanaan Pembangunan FEB UTM, Jakfar Sadik, menjelaskan bahwa mekanisme pengelolaan Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang juga menjadi salah satu sasaran realokasi efisiensi anggaran, masih belum jelas dan berpotensi menimbulkan masalah akuntabilitas.
“Kita tidak tahu arah efisiensi anggaran ini. Tiba-tiba ada wacana Danantara, dana itu diinvestasikan dulu untuk kepentingan bisnis sebelum digunakan untuk pembangunan. Lalu, bagaimana pertanggungjawabannya? Siapa yang mengawasi?" ujar Jakfar saat ditemui di ruangannya (20/2).
Ia juga menilai bahwa pengawasan terhadap Danantara harus melibatkan lembaga independen, bukan hanya Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Karena, jika tidak demikian, akan memungkinkan terjadinya penyelewengan dana.
“Pengawasan Danantara hanya berada di bawah kementerian, yang artinya tetap dalam kendali presiden. Ini jadi masalah karena KPK tidak memiliki wewenang untuk mengauditnya,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pemilihan Arunadit Abdullah, mantan terpidana kasus korupsi, sebagai Ketua Danantara. Menurutnya, hal ini semakin memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
“Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang mengelola triliunan rupiah dipimpin oleh mantan napi korupsi? Jika sejak awal kepemimpinannya sudah kontroversial, bagaimana bisa diharapkan transparansi dalam pengelolaannya?” tegasnya.
Imbas Kebijakan Terhadap Respons Masyarakat
Karena hal itu juga, Jakfar menyoroti maraknya tagar seperti #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, yang turut mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Tagar-tagar tersebut menunjukkan adanya peningkatan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Ketika masyarakat sudah kehilangan kepercayaan, maka setiap kebijakan, baik atau buruk, akan selalu dicurigai. Ini yang harus diperhatikan pemerintah," tambahnya.
Sedangkan Merlia menanggapi fenomena demonstrasi mahasiswa yang semakin masif sebagai bentuk demokratisasi. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa secara masif dan berkelanjutan ini menjadi tanda bahwa mereka merasa suara mereka tidak didengar.
“Pemerintah harusnya mendengar berbagai pihak, bukan hanya dari sudut pandang mereka sendiri,” tegasnya.
Adapun Jakfar sepakat efisiensi anggaran harus dilakukan secara transparan dan tepat sasaran. Mereka berharap realokasi dana benar-benar mendukung pembangunan nasional tanpa mengorbankan sektor pendidikan dan kesehatan, yang merupakan pilar utama kesejahteraan masyarakat.
“Jika efisiensi ini benar-benar untuk mempercepat pembangunan, maka harus jelas penggunaannya. Namun, jika malah menimbulkan distrust dan masalah akuntabilitas, maka kita harus berhati-hati," tutup Jakfar. (van/ai)