Loro Piker

Loro Piker

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 05 Mei 2019




Judul : Retorika (Seni Bicara)
Penulis : Aristoteles
Jenis : Essai
ISBN : 978-602-6651-98
Tahun : 2018

Sebuah Cacian

Kebanyakan orang memiliki otak  sudah dikotori dengan segala sesuatu yang berorientasi pada perut bahkan sampai kemaluan. Terlebih bagaimana yang terjadi pada politisi Indonesia. Seharusnya, dengan mengisi otak setidaknya mementingkan arti kemanusiaan bukan malah terbentur kepentingan, partai politik dan persetan dengan omong kosong lainnya.

Loro piker adalah istilah yang akrab di desa saya untuk menggambarkan kondisi seorang yang dalam tahap berpikir saja sudah salah. Sudah tentu tindakannya akan lebih menyimpang dari sebagaimana mestinya. Melirik kondisi sekarang yang terjadi pada politisi kita misalnya – dalam tahap berpikir saja sudah salah. Walau bagaimanapun tidak dapat kita hindarkan ada banyak faktor hal seperti itu sudah terjadi.

Adalah Sebuah Resensi

Retorika. Seni yang memang seharusnya dipakai untuk membungkus bagaimana pemikiran seseorang  (pola pikirnya). Baik dalam seni dalam berargumentasi, pidato, debat, interogasi atau setidaknya dalam bahasa sehari-hari. Tidak lain tujuannya adalah bagaimana menyembunyikan persuasi kita untuk pendengar agar senada dengan apa yang kita pikirkan. Selain itu, untuk mengupayakan diksi yang dipakai agar lebih efektif dan mudah dipahami oleh lawan bicara.

Seni seperti ini sebagaimana yang dikenalkan oleh Aristoteles, dalam buku ”RETORIKA (seni berbicara)” setebal 416 halaman yang diterbitkan oleh basa-basi, bertujuan memberikan dasar, tumpuan dan pijak untuk urusan persuasi melalui beretorika. Walaupun, tidak sepenuhnya buku ini melulu menjabarkan secara teknis penyusunan kalimatnya. Jadi, untuk lebih mendalam terkait retorika bisa memperdalam disiplin ilmu lain, logika misalnya.

Bahwa, retorika masih dekat dengan dialektika, logika, dan politik. Tentunya keempat perkara tersebut adalah anak turun dari filsafat. Berawal dari filsafat yang menurunkan banyak fase, dari naturalis sampai dengan postmodern – lebih spesifik misalnya dalam konstruksi berpikir kita kenal dengan Materialisme Dialektika Logika (Madilog), Tan Malaka, yang berawal dari ketidaksetujuannya pada Materialisme Dialektika Histori (MDH). Lebih lanjut pada tahap logika masih menurunkan banyak cabang, salah satunya yaitu terkait silogisme. Juga; filsafat menurunkan disiplin baru yaitu politik. Sedangkan kaitannya dengan semua itu, retorika digunakan untuk membungkus dan menyajikannya dalam berargumentasi.

Saya tidak akan membahas lebih jauh yang bukan tentang retorika. Dan betapa rakusnya anda ketika menuntut saya untuk menjabarkan semuanya.

Saya kira, retorika memang sangat dibutuhkan untuk berbicara agar lebih berseni. Walaupun kadang, retorika dapat digunakan untuk mematahkan argumen dan fakta dari lawan berbicara, dengan atau tanpa kita mengetahui kebenarannya. Seperti: ketika kita terjebak dalam suatu perdebatan yang lawan bicara kita lebih mumpuni dalam tema tersebut, bisa kita mematahkan argumen atau fakta yang dipaparkan oleh lawan bicara kita, asal kita bisa menemukan celah atau premis yang dibangun oleh lawan kita yang kurang logis.

Misalnya;

”Untuk urusan biologi tentunya saya lebih darimu yang kuliah hukum,” ucap Ando.

”Siapa yang berani menjamin?” tanya Sualow.

”Antara kita bedua, saya tentunya,” balasnya.

”Atas dasar apa kamu bisa menjamin? Setidaknya diskusi perkara tersebut saja belum pernah kita coba,” balasnya.

”…,” Ando terdiam.

”Baiklah! Binatang apa yang durasi bercintanya paling cepat?” tanya Sualow.

”Mana aku tahu. Lagian apa pentingnya juga,” sanggah Ando.

”Kamu bilang lebih mumpuni. Bagaimana kita akan melanjutkan sebuah perdebatan jika hal itu saja belum kamu ketahui,”

Ando hanya diam karena tidak bisa melempar wacana lain. Selain itu dia terjebak kalimat terakhir yang disuguhkan Sualow.

”Ah, pasti kamu juga tidak tahu mana saja titik rangsang dari perempuan,” tambah Sualow yang membuat Ando semakin terdiam. Karena dia tahu bahwa sampai sekarang Ando masalah bercinta selalu terhenti pada tahap niat.

”Biasanya, hanya orang-orang yang dangkal isi otaknya selalu menganggap bahwa dirinya lebih dari orang lain,” tutup Sualow mengakhiri percakapan.

Setelah kejadian tersebut diketahui bahwa Ando langsung pulang ke rumah dan langsung membuat Indomie pakai telur dan memakannya di kamar mandi (plis, jangan anggap serius).

Masih banyak kegunaan retorika, seperti yang terkenal adalah jargon berpidato seperti Obama – yang selanjutnya Shel Leane menulis sebuah buku ‘Berbicara dan Menang Seperti Obama’. Karena gaya bicara dan pidato Obama dikenal karena mampu membakar, mengesankan dan meningkatkan gairah siapapun yang mendengarnya. Gaya pidato yang singkat dan padat tersebut yang mampu mengantarkan Barrack Obama terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika.

Lebih dalam, ngeles dan mencari pembenaran juga keunggulan dari retorika.

Dalam hal ini, dikenal juga dengan ilmu mantiq (logika) dan ilmu balaghoh yang tidak jauh beda dengan retorika. Walaupun antara retorika dengan mantiq – balaghoh berbeda dalam hal tujuan dan ruang lingkupnya.

Keunggulan dari buku ini sangat banyak dan bermanfaat. Untuk kekurangan, saya kira begitu kurang ajar dan tidak tahu diri ketika bisa memaparkan kekurangan dari buku ini. Dan tentu, buku ini masih relevan dibaca sampai sekarang untuk kalangan SMA ke atas.

Buku ini sangat ringan untuk dibaca karena memang bahasanya mengalir. Saya sendiri, hanya perlu menghabiskan 8 batang rokok untuk menyelesaikannya. Rata-rata waktu yang saya butuhkan satu batang rokok adalah lima belas menit atau sembilan ratus detik. Dalam kurun waktu tersebut bisa sampai lima puluh halaman, jadi rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk perlembarnya hanya delapan belas detik.

Banyak waktu kita terbuang sia-sia, padahal bisa kita gunakan untuk membaca buku, Retorika-nya Aristoteles salah satunya.

Syahdan. Awal-awal pembahasan dalam buku ini membahas peran juri dalam persidangan untuk menentukan bersalah atau tidak pada seorang. Namun, saya malas membicarakan lebih jauh soal hukum, di Indonesia khususnya yang berisi pembenaran, pembenaran, dan pembenaran.

Namun, tidak ada salahnya kita melihat sebuah film yang menyangkut peran juri, yang tentunya retorika dalam film tersebut sangat berguna, 12 Angry Man. Bagaimana tidak, satu orang mampu membuat 11 juri lainnya merubah keputusannya. Caranya? Lihat saja filmnya, ya.

Sebuah Cerita

Alkisah dalam sebuah forum. Seorang nabi menyudahi membicarakan segala hal yang ada di dalam perut bumi dan di atas langit. Dalam forum yang diikuti banyak jamaah tersebut disediakan makanan, kurma utamanya. Ketika nabi menyudahi pembicaraan lalu melemparkan sebuah pernyataan untuk mendinginkan suasana.

”Baik semuanya. Kita telah membicarakan banyak hal. Sekarang, bisa kita lihat siapa diantara kita semua yang paling rakus makannya,” tutur nabi tersebut.

Diketahui bahwa pernyataan tersebut untuk menyudutkan seorang di sampingnya – bahwa, ketika nabi selesai makan kurma bijinya ditaruh di depan pemuda tersebut.

Seisi ruangan tersebut saling lihat satu sama lain dan berhenti pada pemuda disamping nabi, karena biji kurmanya lebih banyak.

”Tidak seperti yang anda lihat semua, saudaraku,” sanggah pemuda yang merasa dijebak.

”Sebenarnya ada yang lebih rakus sampai bijinya dimakan,” tambahnya. Yang sekaligus ditujukan kepada seseorang yang berada di sisi lain nabi, karena memang tidak ada biji kurma di depannya. Padahal dia tidak memakan kurma, konon katanya dia merokok.

Dari pernyataan tersebut membuat seisi ruangan menjadi tertawa. Menyikapi pernyataan cerdas tersebut, nabi langsung memuji keceradasannya dan memberitahukan kebenarannya.

”Lihatlah saudara-saudara. Betapa cerdasnya dia. Dia adalah pintunya ilmu,” ucap nabi.

”Jika saya pintunya ilmu, maka engkaulah kotanya,” balasnya.

”Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya,” ucap nabi.

Bahwa, pemuda tersebut adalah Ali Bin Abi Thalib, yang dikenal akan kecerdasannya. Dalam cerita lain, ada sepuluh orang yang bukan golongan Ali memberikan pertanyaan yang sama untuk mengetahui cerdas atau tidaknya Ali. Selain itu adalah bentuk upaya menggugurkan perkataan dari nabi tersebut. Namun, Ali mampu menjawab sepuluh pertanyaan sama dari orang yang berbeda, dengan jawaban yang berbeda pula.  *Terinspirasi dari sebab turunya hadis Muhammad yang menyatakan dirinya adalah kotanya ilmu dan Ali pintunya.

Cacian Stadium Lanjut

Oh, tidak saudaraku. Walaupun pemilu serentak telah usai dengan masih menyisahkan saling klaim kemenangan. Tapi, kita tidak boleh bahwa sumber kerusuhan sampai ke grup Whatsapp keluarga ada Jokowi – Prabowo wa kampret dan cebong yang menyertainya.

Masih ingatkah kita dengan pernyataan Jokowi yang mengatakan ’kebangeten’ untuk BPJS karena urusannya sampai ke mejanya. He? Pakde mungkin sedang loro piker, bagaimana tidak, seolah presiden tidak mau tahu urusan tersebut. Namanya juga presiden, harus tahu segala hal yang terjadi di negara yang dipimpinnya. Dan tentu, harus bertanggung jawab atas segala hal yang menyertai dalam masa pemerintahannya.

Juga; masih ingatkah kita dengan pernyataan Jokowi akan melawan siapa saja yang mengatakan dirinya yang bukan-bukan. Seperti itukah logika seorang yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyatnya?

Begitu juga dengan rivalnya, Prabowo. Pernah suatu ketika dia menyatakan bahwa Indonesia akan bubar jika dirinya tidak terpilih menjadi presiden. Sungguh, Ghost Flat yang merupakan karya fiksi menjadi acuan Prabowo untuk menobatkan dirinya – bahwa, nasib keutuhan bangsa ada di pundaknya ketika menjadi presiden.

Sudah? Tentu belum. Pernah ramai isu bahwa pimpinan tidak boleh dikritik dengan keluarnya UU MD3 – katanya, untuk menjaga marwah wakil rakyat. Yang lebih parah seperti yang dikatakan Fahri Hamzah bahwa, DPR tidak boleh dikritik dan yang boleh dikritik adalah presiden karena memiliki kekuasaan. Selain itu, presiden digaji untuk mendegarkan kritik pedas dari rakyat. Fiks, loro piker.

Pertama, tentunya DPR juga memiliki kekuasaan. Sebagaimana trias politika berjalan,  teori pembagian ’kekuasaan’. Tentu baik MPR (yudikatif), Presiden (eksekutif), DPR (legislatif) sama-sama memiliki kekuasaan, digaji rakyat, dan seharusnya jika mengacu dari perkataan Fahri Hamzah maka, semua digaji untuk mendegarkan kritik pedas dari rakyat.

Lalu, ada juga Budiman Sujatmiko, bisa kita lihat rekam sejarahnya memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Namun, sayang, pihaknya masih menyanggah dengan pembenaran bahwa pada masa Jokowi tidak ada lagi kebakaran hutan. Payah!

Jadi?

Memang, kita tidak bisa menilai seorang berkompeten atau tidak dari caranya beretorika. Namun, tidak perlu juga memaksakan menggunakannya. Tapi walau bagaimanapun, untuk menjadi seorang lebih ’kritis’ menelan informasi, alangkah baiknya kita mendalami disiplin ilmu ini. selain itu, setidaknya banyak manfaatnya daripada kerugian yang akan kita dapat mempelajari suatu ilmu, dan mau bagaimanapun  sebagai rakyat biasa seharusnya tidak mudah tertipu dengan statement yang dikeluarkan pejabat kita.

Seperti: ketika quick count memenangkan pasangan 01, banyak wartawan yang bertanya kepada Anis Baswedan jika Sandiaga kembali menjadi wakil gubernur? Untungnya, Anis sadar bahwa pertanyaan tersebut adalah jebakan, karena secara tidak langsung ada makna bahwa Sandiaga gagal menjadi wakil presiden.

Lalu, bisa kita temui logika dan pola pikir salah di sekitar kita, misalnya bahwa, rakyat harus takut kepada pimpinan, tidak demikian. Seharusnya, siapapun pemimpinnya itu harus takut kepada rakyatnya. Sekali lagi, kita rakyat yeng memiliki kedaulatan tertinggi sesuai konstitusi, yang seharusnya ditakuti oleh setidaknya pejabat kelas teri sampai tingkat presiden.

Btw, kok tidak bahas Rocky Gerung sih?



Birar Dzillul Ilah
Anggota Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa