Beberapa pekan yang lalu, Badan
Kelengkapan Mahasiswa tingkat Universitas bertolak ke Yogyakarta. Konon, selama
dua hari di Kota Pendidikan itulah
pelaksanaan studi banding
dengan tujuan dua kampus besar: Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Islam Indonesia (UII).
Mengapa dua kampus itu yang dijadikan
acuan dan apa yang hendak dicapai dengan adanya studi banding ini?
Jailani, Presiden Mahasiswa UTM
dalam evaluasi studi banding mengungkapkan bahwa
studi banding ini diadakan di dua kampus yang tepat. Sebab, katanya, dua kampus
itu memiliki ‘sistem pemerintahan’ yang tak sama dengan pemerintahan mahasiswa
di UTM. Oleh karena itu, saat melakukan sambutan di UII ia berpesan pada seluruh
hadirin, khususnya mahasiswa UTM untuk banyak mengambil manfaat dari kegiatan
studi banding yang saat itu tengah berlangsung.
Secara subtansial, apabila tujuan studi banding
adalah membandingkan tata kelola serta sistem pemerintahan mahasiswa yang dijalankan
di dua kampus itu, maka itu sudah tepat. BEM, DPM, mungkin juga MKM dan para
Gubernur bisa banyak belajar saat sesi diskusi. Tetapi bagaimana dengan UKM?
Beberapa UKM selalu mengeluhkan
hal yang sama pada setiap tahunnya. Persoalan seperti tidak adanya UKM sejenis di kampus tujuan
masih belum bisa diantisipasi sampai studi banding tahun ini. Seperti UKM
Taruna Jaya yang membawahi enam cabang olah raga, di UNY mereka hanya bisa
menemui dan berdiskusi dengan satu UKM yang berfokus pada satu cabang olah raga
saja, yaitu bulu tangkis, selebihnya nihil.
Lebih parahnya, di UII perwakilan
UKM tidak bisa bertemu dan berdiskusi dengan UKM UII. Panitia lepas tangan, itu
tanggung jawab pihak UII, katanya. Pihak UII sendiri hanya bisa memohon maaf
dan meminta pemakluman lantaran penyelenggaraan studi banding dinilai kurang
tepat. Hari itu hari selasa, hari yang sibuk terlebih menjelang UTS sehingga
tak bisa mendatangkan perwakilan UKM UII.
Selanjutnya UKM hanya ditemani
BEM bagian Kreasi Mahasiswa (Krema) yang menanungi UKM di UII. Dan itu sangat
tidak cukup bagi teman-teman UKM. Sebab Krema hanya mengetahui UKM dari kulit
luar dan administratifnya saja. Hal-hal penting yang perlu didiskusikan semacam
perosalan-persoalan yang tengah dihadapi, pengkaderan, manajemen, dan budaya organisasi UKM
sama sekali tak diketahui dan memang tak ada sangkut pautnya dengan pihak luar
–dalam hal ini BEM UII bagian Kreasi Mahasiswa. Terlebih UKM macam Lembaga Pers
Mahasiswa dan Pecinta Alam merupakan organisasi khusus di UII yang berada di
luar naungan Krema BEM UII. Bisa dibilang, di UII UKM hanya jalan-jalan, makan
dan swafoto saja.
Jika sudah begini, manfaat
kemudian menjadi sebuah konsep yang begitu sophis dan relatif. Harusnya,
masalah semacam ini tidak perlu terulang lagi. Sebab hal semacam ini sudah
dikupas dan dievaluasi oleh Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa, setidaknya
sejak dua edisi studi banding kemarin. Beberapa keluputan yang dibeberkan mulai
dari tujuan yang tidak jelas, teknis yang kurang terencana, serta manfaat yang
perlu dipertanyakan
dalam konten yang digarap LPM SM itu, seharusnya bisa menjadi bahan untuk
panitia menyiapkan kegiatan yang lebih matang agar tidak kembali jatuh ke dalam
lubang yang sama.
Adapun di sisi yang lain,
pelaksanaan studi banding dari tahun ke tahun selalu menyisakan perbincangan
yang berujung pada satu diskursus usang mengenai perlu atau tidaknya kegiatan
ini dilakukan. Di instagram, akun @gerakan_mahasiswa_utm mempropagandakan kalau
kegiatan kemarin hanyalah kegiatan jalan-jalan kabinet berkedok studi banding.
Dari sini kita dapat melihat betapa pro dan kontra perihal studi banding masih
ada dan nyata. Bisa pula kita artikan kalau keberadaan akun tersebut merupakan
puncak dari gunung es mengenai keresahan mahasiswa UTM terhadap manfaat studi
banding yang masih dinilai menggantung.
Mungkin, Jailani dan ketua Badan
Kelengkapan yang lain
perlu melakukan sosialisasi kepada mahasiswa UTM secara umum mengenai penerapan
dari kebijakan hasil studi banding. Entah apa itu. Karena seyogyanya, studi
banding bukanlah kunjungan yang selanjutnya membandingkan satu konsep dengan
konsep lainnya, lantas menentukan mana yang terbaik. Bukan seperti itu. Tetapi,
studi banding adalah bagaimana dari perbandingan itu dapat disaring dan diambil
inti sarinya untuk menelurkan satu konsep baru yang dinilai perlu diterapkan
berdasar hasil diskusi dan pengalaman yang diperoleh. Jadi mari berdoa, semoga
BEM, DPM, para Gubernur
atau barangkali MKM memperoleh satu hal yang bisa bermanfaat dari studi banding
untuk mahasiswa UTM yang lain. Mari berdoa agar studi banding kemarin bukanlah
perjalanan macam
petualangan Don Quixote yang hanya memanjakan imaji pribadi.
Kalaupun semisal doa kita
ternyata tidak terkabul, ingatlah seorang bijak pernah berkata tak ada yang
sia-sia di muka bumi. Ya, Semoga quote tersebut dapat menghibur hatimu dan hati
perwakilan UKM yang kemarin terlanjur mengikuti kegiatan studi banding.
Sirajudin
Mahasiswa Program Studi Manajemen