Angin mendesir lembut di genap malam, bernuansa halus sejukkan
keheningan di surau ujung desa. Surau itu berlapis hijau tipis dengan sembilan tiang penyangga kokoh
terukir menarik. Bila
kau beribadah di dalamnya, kau
akan merasakan kesejukan dengan jiwa yang tenteram, hingga pernah ku terlelap. Konon dulu katanya ada seorang
alim yang selalu berpakaian hijau-hijau ikut menidirikan surau ini. Baju hijau,
sarung hijau, kopiah hijau, serban hijau, bahkan tasbih yang selalu dibawanya
pun berwarna hijau. Mungkin
itu sebabnya surau ini hijau dan diberi nama Langgar Ijo.
Orang
alim tadi dikenal
dengan kesederhanaannya. Ia selalu
datang dan pergi tanpa membawa apapun. Meskipun begitu ia memiliki kekayaan
abadi di tempat abadi. Semua tahu fakta itu, walau fakta sejatinya hanyalah Tuhan yang mengetahui. Orang
alim itu tak bernama, mungkin. Karena dari sekian sesepuh kampung yang masih hidup mendadak lupa identitas
orang tersebut. Disengaja atau tidak, benar-benar tak ada yang tahu.
Surau
kami terbilang mewah dengan
bangunan kokoh tak termakan waktu yang di sekitarnya dihuni masyarakat
berpenghasilan diatas rata-rata. Meskipun saat ku balita dulu, surau itu mudah rusak dibentur angin. Itu karena masyarakat
berkontribusi besar akan pembangunan ini hingga berhasil menjadi surau akbar yang dapat
digunakan untuk ibadah jum'at.
Mungkin
kau tak percaya dengan ceritaku kali ini. Percaya pun kau tak sepenuhnya percaya karena
masyarakat di zaman
kini hanya percaya kepada
apa-apa yang nampak. Meskipun aku saksi mata pun kurasa kau takkan
percaya bila tidak langung bertemu atau melihat sendiri.
Pernah suatu kali, pada suatu malam
yang sejuk, kami mengadakan syukuran untuk memperingati berdirinya surau
yang bertepatan tahun baru agama kami. Dan kisah orang alim itu telah genap seperempat abad lamanya.. Konon orang bilang, orang alim masih
hidup untuk berkelana
memperbaiki dunia, dan akan
kembali ketika kampung ini
memperlukan dirinya. Di sisi
lain, masyarakat juga percaya bahwa hal itu tak mungkin karena ia mengabdi
pada yang Abadi sebagai bukti loyalitasnya.
Usai
ibadah maghrib, kami
melingkar untuk membaca kitab suci. Di malam ini, rembulan malam genap di bentuk utuhnya. Awan pun terlihat
tipis menggantung, menampakkan
rangkaian bebintang. Dan
semua atmosfer ini rusak begitu saja ketika orang itu hadir di kampung tiap
tengah malam.
Ketika ia datang, bau kasturi diselingi melati semerbak
dalam surau. Tak ayal surau menjadi sedikit mencekam. Lelaki itu berpakaian
lusuh dengan rambut panjang sebahu tak terurus. Telapak tangannya kotor, di
bahunya memanggul karung goni yang entah apa isinya, dengan tak beralas kaki. Namun
langkahnya bersih di ubin surau. Beberapa orang sedikit terganggu dengan
kehadirannya dikarenakan
kelusuhan tampilannya. Hanya saja pemuka agama kami melarang untuk
mengusirnya.
Di penghujung malam, hari pertama, ia memijak ubin surau.
Hanya mereka yang berjaga malam yang tahu dan mengawasi di kejauhan. Kata orang
ia sedang beribadah. Namun, gerakannya sangat lama. Berdirnya lama, membungkuknya
lama, duduknya lama, dan semua di luar kewajaran. Ketika usai, seorang dari
penjaga mencoba menegurnya. Tapi sekali lagi ia hilang dan aroma kasturi
kembali menyerbak.
Barangkali
apa yang diucapkan pemuka agama itu benar. Sekarang kami tak perlu mengusiknya.
Toh, kita tidak diganggu ataupun terganggu. Cukup pagi saja menjadi omongan sedangkan
malam jadi tontonan.
Aku
yang hanya mendengar dari mulut ke mulut juga penasaran. Di hari ke tujuh ku
tunggu penghujung malam tiba. Aku yakin selain aku, masyarakat pun penasaran dibuatnya. Seketika, sekitar surau menjadi riuh.
Masyarakat kampung sebelah banyak yang kemari hanya sekedar mencari tahu.
Penghujung
malam akan tergantikan fajar.
Tapi lelaki lusuh yang tiap penghujung
malam singgah, dengan
karung goni beraroma kasturi, belum datang. Lelaki tak beridentitas itu hilang.
Tapi kabar pahit di kampung tetangga mengguncang.
***
Di
suatu rumah yang ditinggal penghuni nya pergi, tinggalah seorang gadis sendiri. Ia digagahi
sedemikian kali oleh seseorang
digelap malam tanpa belas kasih.
Hingga tangisannya terdengar merintih-rintih.
Saat
sekelompok orang datang, hadir seorang saksi, berkata pelakunya adalah lelaki lusuh berkarung
goni. Lelaki yang semalam ditunggu di surau, tiba-tiba hilang dan mengagahi
seorang gadis? Pantas saja ia tak ada. Pantas saja ia tak singgah seperti
biasanya. Warga pun satukan tangan untuk menangkapnya, termasuk aku di dalamnya.
Sebenarnya
aku pun tak percaya pada kisahku sendiri. Berhak kah ku tak percaya? Kau pun
tak ku batasi tuk menyangkalnya. Tapi, faktanya aku ragu dengan kisahku karena
ini tak logis.
Dan esoknya kami menunggu
dengan hening di semak-semak, tenang dalam bilik. Lelaki lusuh itu tiba-tiba
sudah sujud di dalam
bilik. Lama, membuat kami
tak sanggup. Namun ketika
menekatinya, entah mengapa daya dan upaya ini tiada. Kami mematung tanpa
sebab. Lelaki tersebut pun
bangkit dari sujudnya sekaligus menyelesaikan ibadahnya. Kami tercekat. Aroma
kasturi itu membatukan kami.
Lelaki
itu keluar dari surau. Untuk
pertama kali kami melihat wajahnya, disitulah kami merasa ketenangan tak terkira. Wajahnya halus,
cerah, bahkan membuat rindu.
Lelaki itu tersenyum. Seketika aku tak lagi bernafsu tuk menyergapnya. Idak hanya aku, kami semua terkulai lemah.
Ia
menarik nafas dalam dan dihembuskan perlahan. "Orang beriman harum
langkahnya, sedangkan orang munafik busuk nafasnya. Ia yang busuk lah yang layak kalian adili,” ujarnya
sembari tersenyum.
Aroma
kasturi itu mendadak menguat bersamaan hilangnya lelaki itu tanpa satu goresan
pun di tanah. Konon kau akan menemuinya bila memang kau sangat rindu. Orang
bilang Ia Nabi Khidir, ada juga yang bilang Ia pendiri surau ini. Tapi, semua
terserah yang mendengar.
Sekarang
kau berhak tuk memilih. Percaya atau tidak.
Yusril Al Mastury
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.