Langgar Ijo

Langgar Ijo

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 28 April 2019

Angin mendesir lembut di genap malam, bernuansa halus sejukkan keheningan di surau ujung desa. Surau itu berlapis hijau tipis dengan sembilan tiang penyangga kokoh terukir menarik. Bila kau beribadah di dalamnya, kau akan merasakan kesejukan dengan jiwa yang tenteram, hingga pernah ku terlelap. Konon dulu katanya ada seorang alim yang selalu berpakaian hijau-hijau ikut menidirikan surau ini. Baju hijau, sarung hijau, kopiah hijau, serban hijau, bahkan tasbih yang selalu dibawanya pun berwarna hijau. Mungkin itu sebabnya surau ini hijau dan diberi nama Langgar Ijo.  
    
 Orang alim tadi dikenal dengan kesederhanaannya. Ia selalu datang dan pergi tanpa membawa apapun. Meskipun begitu ia memiliki kekayaan abadi di tempat abadi. Semua tahu fakta itu, walau fakta sejatinya hanyalah Tuhan yang mengetahui. Orang alim itu tak bernama, mungkin. Karena dari sekian sesepuh kampung yang masih hidup mendadak lupa identitas orang tersebut. Disengaja atau tidak, benar-benar tak ada yang tahu.

Surau kami terbilang mewah dengan bangunan kokoh tak termakan waktu yang di sekitarnya dihuni masyarakat berpenghasilan diatas rata-rata. Meskipun saat ku balita dulu, surau itu mudah rusak dibentur angin. Itu karena masyarakat berkontribusi besar akan pembangunan ini hingga berhasil menjadi surau akbar yang dapat digunakan untuk ibadah jum'at.

Mungkin kau tak percaya dengan ceritaku kali ini. Percaya pun kau tak sepenuhnya percaya karena masyarakat di zaman kini hanya percaya kepada apa-apa yang nampak. Meskipun aku saksi mata pun kurasa kau takkan percaya bila tidak langung bertemu atau melihat sendiri.

Pernah suatu kali, pada suatu malam yang sejuk, kami mengadakan syukuran untuk memperingati berdirinya surau yang bertepatan tahun baru agama kami. Dan kisah orang alim itu telah genap seperempat abad lamanya.. Konon orang bilang, orang alim masih hidup untuk berkelana memperbaiki dunia, dan akan kembali ketika kampung ini memperlukan dirinya. Di sisi lain, masyarakat juga percaya bahwa hal itu tak mungkin karena ia mengabdi pada yang Abadi sebagai bukti loyalitasnya.

Usai ibadah maghrib, kami melingkar untuk membaca kitab suci. Di malam ini, rembulan malam genap di bentuk utuhnya. Awan pun terlihat tipis menggantung, menampakkan rangkaian bebintang. Dan semua atmosfer ini rusak begitu saja ketika orang itu hadir di kampung tiap tengah malam.

Ketika ia datang, bau kasturi diselingi melati semerbak dalam surau. Tak ayal surau menjadi sedikit mencekam. Lelaki itu berpakaian lusuh dengan rambut panjang sebahu tak terurus. Telapak tangannya kotor, di bahunya memanggul karung goni yang entah apa isinya, dengan tak beralas kaki. Namun langkahnya bersih di ubin surau. Beberapa orang sedikit terganggu dengan kehadirannya dikarenakan kelusuhan tampilannya. Hanya saja pemuka agama kami melarang untuk mengusirnya.

Di penghujung malam, hari pertama, ia memijak ubin surau. Hanya mereka yang berjaga malam yang tahu dan mengawasi di kejauhan. Kata orang ia sedang beribadah. Namun, gerakannya sangat lama. Berdirnya lama, membungkuknya lama, duduknya lama, dan semua di luar kewajaran. Ketika usai, seorang dari penjaga mencoba menegurnya. Tapi sekali lagi ia hilang dan aroma kasturi kembali menyerbak.

Barangkali apa yang diucapkan pemuka agama itu benar. Sekarang kami tak perlu mengusiknya. Toh, kita tidak diganggu ataupun terganggu. Cukup pagi saja menjadi omongan sedangkan malam jadi tontonan.

Aku yang hanya mendengar dari mulut ke mulut juga penasaran. Di hari ke tujuh ku tunggu penghujung malam tiba. Aku yakin selain aku, masyarakat pun penasaran dibuatnya. Seketika, sekitar surau menjadi riuh. Masyarakat kampung sebelah banyak yang kemari hanya sekedar mencari tahu.

Penghujung malam akan tergantikan fajar. Tapi lelaki lusuh yang tiap penghujung malam singgah, dengan karung goni beraroma kasturi, belum datang. Lelaki tak beridentitas itu hilang. Tapi kabar pahit di kampung tetangga mengguncang.

***

Di suatu rumah yang ditinggal penghuni nya pergi, tinggalah seorang gadis sendiri. Ia digagahi sedemikian kali oleh seseorang digelap malam tanpa belas kasih. Hingga tangisannya terdengar merintih-rintih.

Saat sekelompok orang datang, hadir seorang saksi, berkata pelakunya adalah lelaki lusuh berkarung goni. Lelaki yang semalam ditunggu di surau, tiba-tiba hilang dan mengagahi seorang gadis? Pantas saja ia tak ada. Pantas saja ia tak singgah seperti biasanya. Warga pun satukan tangan untuk menangkapnya, termasuk aku di dalamnya.

Sebenarnya aku pun tak percaya pada kisahku sendiri. Berhak kah ku tak percaya? Kau pun tak ku batasi tuk menyangkalnya. Tapi, faktanya aku ragu dengan kisahku karena ini tak logis.

Dan esoknya kami menunggu dengan hening di semak-semak, tenang dalam bilik. Lelaki lusuh itu tiba-tiba sudah sujud di dalam bilik. Lama, membuat kami tak sanggup. Namun ketika menekatinya, entah mengapa daya dan upaya ini tiada. Kami mematung tanpa sebab. Lelaki tersebut pun bangkit dari sujudnya sekaligus menyelesaikan ibadahnya. Kami tercekat. Aroma kasturi itu membatukan kami.

Lelaki itu keluar dari surau. Untuk pertama kali kami melihat wajahnya, disitulah kami merasa ketenangan tak terkira. Wajahnya halus, cerah, bahkan membuat rindu. Lelaki itu tersenyum. Seketika aku tak lagi bernafsu tuk menyergapnya. Idak hanya aku, kami semua terkulai lemah.

Ia menarik nafas dalam dan dihembuskan perlahan. "Orang beriman harum langkahnya, sedangkan orang munafik busuk nafasnya. Ia yang busuk lah yang layak kalian adili,” ujarnya sembari tersenyum.

Aroma kasturi itu mendadak menguat bersamaan hilangnya lelaki itu tanpa satu goresan pun di tanah. Konon kau akan menemuinya bila memang kau sangat rindu. Orang bilang Ia Nabi Khidir, ada juga yang bilang Ia pendiri surau ini. Tapi, semua terserah yang mendengar.

Sekarang kau berhak tuk memilih. Percaya atau tidak.

Yusril Al Mastury
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.