Bagaimana keberlanjutan feminisme?
Tiba-tiba saja
saya terbesit pertanyaan tersebut. Bagaimana tidak? Ketika digaungkan gerakan
feminis, emansipasi, dan kesetaraan gender yang masif namun tidak ada yang
banyak berubah dari diri kaum perempuan. Dalam data siaran pers dicantumkan
catatan tahunan komisi nasional (komnas) perempuan 2019 dipaparkan terdapat
406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 perhitungan tersebut
meningkat sebanyak 14% dari tahun sebelumnya.
Kita sama-sama
tahu bahwa dalam perjalanan sejarah garis nasib perempuan tidak begitu baik,
baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Keberadaannya wajib dibunuh,
dijadikan budak, dibuat sebagai persembahan bagi dewa. Sementara di Indonesia
seperti yang dikenal sebelumnya, perempuan dijadikan gundik atau nyai kemudian jika
sang tuan kembali ke negaranya maka anaknya akan dibawa dan ditelantarkanlah
dirinya atau paling tidak dijadikan kado bagi teman sejawat si tuan.
Di Indonesia
bagaimana potret perempuan yang sangat tidak beruntung sudah banyak dikisahkan,
dalam Tetralogi Buru Nyai 0ntosoroh masuk kategori perempuan yang tidak
beruntung namun dia cerdas sehingga berusaha memperjuangkan haknya dan
anak-anaknya, namun bagaimana dengan Ontosoroh-Ontosoroh lainnya? Atau betapa
malangnya perempuan yang dijadikan pelacur seperti yang dikisahkan Eka
Kurniawan dalam Cantik Itu Luka.
Lantas bagaimana
jika dirinya berusaha menolak? Dalam laporan De Milionen yang ditulis Van Den Brand mengungkapkan kengerian yang
dialami buruh perempuan di perkebunan Deli sebab dirinya tidak mau dijadikan
gundik dan memilih menjalin asmara dengan sesama buruh. Dalam cerita Van Den
Brand, ketika dia mengunjungi rumah tuan tanah, dia mendengar erangan suara
perempuan kemudian dicari sumber suara tersebut. Lalu terpapar jelas, tubuh
perempuan disalib dengan telanjang bulat di depan halaman tuan tanah, yang
lebih mengerikan lagi kemaluannya diolesi cabai Spanyol yang dikenal dengan
pedasnya yang luar biasa. Perempuan tersebut berada dalam keadaan demikian
selama 6 jam.
Berangkat dari
persoalan demikian, perempuan dan kaumnya berusaha memerdekakan diri melalui
gerakan-gerakan feminis. Feminisme mulanya lahir di Eropa pada abad
pertengahan. Masa itu gereja menjadi menjadi pusat dan sumber kekuasaan,
malangnya waktu itu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan masa tersebut
setelah menikah mereka tidak berhak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan
apapun. Tertullian (150M) sebagai Bapak
Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita: Wanita yang membukakan
pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang
untuk melanggar hukum Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi
bayangan Tuhan.
Kemudian pada
mula masa renaisans, Francis Bacon menggambarkan kehidupan perempuan masa itu
sangat keras dan sulit. Pada masa kehidupan Ratu Elisabeth kekuasan Raja James
I, dirinya sangat membenci perempuan, bahkan para pendeta turut menjadi pelopor
terhadap pembunuhan dan pembakaran terhadap perempuan. Hukuman yang brutal
dijcatuhkan kepada seorang perempuan yang melanggar perintah suaminya. Berawal dari
keadaan tersebut lalu seiring lahirnya revolusi di Eropa kaum feminis lahir,
mereka berupaya menyebarkan ide hak-hak perempuan, seperti hak bercerai hak
berbicara di ranah publik, berpendapat, serta kesetaraan.
Meskipun demikian,
masuk dalam abad 21 ini ranah feminisme diwarnai dengan berbagai persoalan.
Mulai dari kejahatan, mitos kecantikan, gerakan anti feminis, tindak
diskriminasi, dan pelecehan perempuan. Semuanya berkembang biak dengan bentuk
lain dan berbeda.
Dalam situs online opini publik, di ranah
internasional turut digetolkan feminisme dan bahkan adanya feminisme dianggap
sebagai hal yang sangat penting, beberapa alasan diantaranya: adanya 15 juta
pengantin anak di seluruh dunia yang menikah secara paksa dengan pria yang
lebih tua, lebih dari sepertiga perempuan di Brazil mengalami pelecehan seksual
atau korban kekerasan, wanita di Argentina meninggal karena jenis kelaminnya
setiap 29 jam. Selain itu, 51% perempuan Afrika menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga, 11% menderita kekerasan selama kehamilan, 21% menikah sebelum
usia 15 tahun, dan 24% dipengaruhi oleh mutilasi genital, sedangkan di Arab
Saudi, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, dan tidak dapat
berjalan bebas tanpa pengawaan laki-laki serta tida diizinkan mengemudi. Tidak
hanya itu, di India kasus pemerkosaan semakin meningkat dan kematian mas kawin
dan serangan asam masih lazim di India. Itu hanya beberapa kasus saja yang
tercatat dan saya yakin masih banyak lagi yang belum diketahui ranah publik.
Ironisnya, dunia
feminis saat ini dipenuhi dengan wacana kecantikan dan memoles wajah. Munculnya
mitos-mitos kecantikan bahwa perempuan cantik yakni mereka yang berkulit putih,
semampai, langsing, berambut lurus dan memiliki senyum menawan. Naomi Wolf
dalam buku Mitos Kecantikan memaparkan bahwa perempuan seolah terbelenggu dalam
ruang kebudayaan. Setiap hari perempuan dicekoki mitos kecantikan dalam iklan
televisi, majalah kecantikan, sehingga mereka terjebak dalam obsesi ingin
selalu tampil cantik dengan badan ideal. Tak jarang mereka diet ketat dan
operasi plastik, padahal sebenarnya hal tersebut menyiksa diri mereka. Keadaan
lain juga seakan perempuan tidak bisa lepas dari kosmetik dan perawatan tubuh
lainnya. Buktinya, Ketika saya bertanya
dengan sesama teman perempuan “wajahmu sekarang makin putih ya,” ia menjawab
bangga dengan bercerita panjang mengenai
produk skin care. Gerakan feminis kini seolah dipecah menjadi dua kubu,
yakni aktivis feminis yang mereka memperjuangkan hak-hak perempuan dan sisi
lain, feminis yang berjuang untuk hak tetap terlihat cantik dan menawan.
Beraneka kosmetik yang dipakai beserta perawatan lain yang tentunya mengorek
banyak uang.
Di tengah
maraknya gerakan tersebut, justru di Indonesia muncul gerakan anti feminis.
Gerakan Indonesia Tanpa Feminis di laman akun instagram, jika ditelusuri lebih
lanjut hal tersebut dilakukan oleh kelompok perempuan Islam konservatif. Mereka
menyuarakan pendapat anti feminisme yang didasarkan pada Al-Quran dan hadist,
mereka berpendapat bahwa indonesia tidak butuh feminisme serta feminisme lahir
dari masyarakat yang tidak menghormati perempuan. Mereka beranggapan bahwa
tubuhnya milik Tuhan dan bukan milik diri mereka sendiri. Mereka mengecam keras
feminisme dan menolak konsep gender. Salah seorang perempuan anti feminis
mengungkapkan bahwa feminisme berbahaya sebab melanggar aturan agama dan
melegalkan hubungan di luar orientasi heteroseksual.
Gerakan feminis
lain seperti feminis radikal maupun liberal juga lebih banyak menuntut hak dan
seringkali melupakan naluri perempuan, misalnya menolak memiliki anak, menolak
upah gaji lebih rendah padahal tingkat kerja dan skala resiko kerja lebih
kecil, serta menuntut untuk sepenuhnya menjadi wanita karir. Selain itu,
dirinya menolak atas hierarki dengan kaum lelaki. Jika ada pelecehan atau
kemalangan pada perempuan, kaum lelaki yang bersalah.
Gerakan feminis
dikerahkan untuk mencapai kesetaraan, namun benarkah demikian? Alih-alih
menuntut kesetaraan namun nyatanya sisi lain feminisme saat ini bukan tentang
kesetaraan. Keadilan, ataupun kualifikasi, melainkan menyalahkan laki-laki.
Jika ada pelecehan yang diakibatkan dirinya memamerkan tubuhnya maka yang
sepenuhnya salah adalah lelaki. Atas nama feminisme seringkali perempuan
menjadikan tameng dan mengelabui. Meminta setara namun jika ada hal persoalan
yang sekiranya dirasa keberatan maka mereka menolak atas nama feminisme.
Padahal seharusnya, feminisme bukan tentang membenci laki-laki melainkan
menjadi kuat untuk diri sendiri, memberi jalan untuk mengambil peluang baik,
dan bangga atas diri sendiri. Dengan demikian, seharusnya perempuan tidak perlu
risau apakah dirinya gemuk, hitam, dan lainnya. Perempuan akan masih tetap
hidup selama ia berpikir dan tidak bertindak yang muluk-muluk agar sesuai
dengan trend dan digemari masyarakat.
Adanya feminisme mulai dipertanyakan kebenaraanya, memang tidak dapat dipungkiri banyak
keberhasilan yang diraih kaum perempuan atas dasar gerakan masif tersebut.
Berawal dari gerakan tersebut banyak perempuan yang sadar atas keprihatinan
yang menimpa kaumnya dan berusaha mengentaskan. Mereka sadar dan berusaha meningkatkan kualitas diri serta
menjaga fitrah. Namun di sisi lain juga seiring gencarnya feminisme juga
semakin marak degradasi perempuan serta pertentangan sesama perempuan. Lantas dapatkah dikatakan
bahwa feminisme masih perlu diperjuangkan?
Idatus Sholihah
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia