Feminisme dan Kemalangan Perempuan

Feminisme dan Kemalangan Perempuan

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 21 April 2019



Bagaimana keberlanjutan feminisme?

Tiba-tiba saja saya terbesit pertanyaan tersebut. Bagaimana tidak? Ketika digaungkan gerakan feminis, emansipasi, dan kesetaraan gender yang masif namun tidak ada yang banyak berubah dari diri kaum perempuan. Dalam data siaran pers dicantumkan catatan tahunan komisi nasional (komnas) perempuan 2019 dipaparkan terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018 perhitungan tersebut meningkat sebanyak 14% dari tahun sebelumnya.

Kita sama-sama tahu bahwa dalam perjalanan sejarah garis nasib perempuan tidak begitu baik, baik di Indonesia maupun di negara lainnya. Keberadaannya wajib dibunuh, dijadikan budak, dibuat sebagai persembahan bagi dewa. Sementara di Indonesia seperti yang dikenal sebelumnya, perempuan dijadikan gundik atau nyai kemudian jika sang tuan kembali ke negaranya maka anaknya akan dibawa dan ditelantarkanlah dirinya atau paling tidak dijadikan kado bagi teman sejawat si tuan.
Di Indonesia bagaimana potret perempuan yang sangat tidak beruntung sudah banyak dikisahkan, dalam Tetralogi Buru Nyai 0ntosoroh masuk kategori perempuan yang tidak beruntung namun dia cerdas sehingga berusaha memperjuangkan haknya dan anak-anaknya, namun bagaimana dengan Ontosoroh-Ontosoroh lainnya? Atau betapa malangnya perempuan  yang  dijadikan pelacur seperti yang dikisahkan Eka Kurniawan dalam Cantik Itu Luka.

Lantas bagaimana jika dirinya berusaha menolak? Dalam laporan De Milionen yang ditulis Van Den Brand mengungkapkan kengerian yang dialami buruh perempuan di perkebunan Deli sebab dirinya tidak mau dijadikan gundik dan memilih menjalin asmara dengan sesama buruh. Dalam cerita Van Den Brand, ketika dia mengunjungi rumah tuan tanah, dia mendengar erangan suara perempuan kemudian dicari sumber suara tersebut. Lalu terpapar jelas, tubuh perempuan disalib dengan telanjang bulat di depan halaman tuan tanah, yang lebih mengerikan lagi kemaluannya diolesi cabai Spanyol yang dikenal dengan pedasnya yang luar biasa. Perempuan tersebut berada dalam keadaan demikian selama 6 jam.

Berangkat dari persoalan demikian, perempuan dan kaumnya berusaha memerdekakan diri melalui gerakan-gerakan feminis. Feminisme mulanya lahir di Eropa pada abad pertengahan. Masa itu gereja menjadi menjadi pusat dan sumber kekuasaan, malangnya waktu itu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan masa tersebut setelah menikah mereka tidak berhak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun.  Tertullian (150M) sebagai Bapak Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita: Wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan.

Kemudian pada mula masa renaisans, Francis Bacon menggambarkan kehidupan perempuan masa itu sangat keras dan sulit. Pada masa kehidupan Ratu Elisabeth kekuasan Raja James I, dirinya sangat membenci perempuan, bahkan para pendeta turut menjadi pelopor terhadap pembunuhan dan pembakaran terhadap perempuan. Hukuman yang brutal dijcatuhkan kepada seorang perempuan yang melanggar perintah suaminya. Berawal dari keadaan tersebut lalu seiring lahirnya revolusi di Eropa kaum feminis lahir, mereka berupaya menyebarkan ide hak-hak perempuan, seperti hak bercerai hak berbicara di ranah publik, berpendapat, serta kesetaraan.

Meskipun demikian, masuk dalam abad 21 ini ranah feminisme diwarnai dengan berbagai persoalan. Mulai dari kejahatan, mitos kecantikan, gerakan anti feminis, tindak diskriminasi, dan pelecehan perempuan. Semuanya berkembang biak dengan bentuk lain dan berbeda.

Dalam situs online opini publik, di ranah internasional turut digetolkan feminisme dan bahkan adanya feminisme dianggap sebagai hal yang sangat penting, beberapa alasan diantaranya: adanya 15 juta pengantin anak di seluruh dunia yang menikah secara paksa dengan pria yang lebih tua, lebih dari sepertiga perempuan di Brazil mengalami pelecehan seksual atau korban kekerasan, wanita di Argentina meninggal karena jenis kelaminnya setiap 29 jam. Selain itu, 51% perempuan Afrika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, 11% menderita kekerasan selama kehamilan, 21% menikah sebelum usia 15 tahun, dan 24% dipengaruhi oleh mutilasi genital, sedangkan di Arab Saudi, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, dan tidak dapat berjalan bebas tanpa pengawaan laki-laki serta tida diizinkan mengemudi. Tidak hanya itu, di India kasus pemerkosaan semakin meningkat dan kematian mas kawin dan serangan asam masih lazim di India. Itu hanya beberapa kasus saja yang tercatat dan saya yakin masih banyak lagi yang belum diketahui ranah publik.

Ironisnya, dunia feminis saat ini dipenuhi dengan wacana kecantikan dan memoles wajah. Munculnya mitos-mitos kecantikan bahwa perempuan cantik yakni mereka yang berkulit putih, semampai, langsing, berambut lurus dan memiliki senyum menawan. Naomi Wolf dalam buku Mitos Kecantikan memaparkan bahwa perempuan seolah terbelenggu dalam ruang kebudayaan. Setiap hari perempuan dicekoki mitos kecantikan dalam iklan televisi, majalah kecantikan, sehingga mereka terjebak dalam obsesi ingin selalu tampil cantik dengan badan ideal. Tak jarang mereka diet ketat dan operasi plastik, padahal sebenarnya hal tersebut menyiksa diri mereka. Keadaan lain juga seakan perempuan tidak bisa lepas dari kosmetik dan perawatan tubuh lainnya. Buktinya,  Ketika saya bertanya dengan sesama teman perempuan “wajahmu sekarang makin putih ya,” ia menjawab bangga  dengan bercerita panjang mengenai produk skin care. Gerakan feminis kini seolah dipecah menjadi dua kubu, yakni aktivis feminis yang mereka memperjuangkan hak-hak perempuan dan sisi lain, feminis yang berjuang untuk hak tetap terlihat cantik dan menawan. Beraneka kosmetik yang dipakai beserta perawatan lain yang tentunya mengorek banyak uang.

Di tengah maraknya gerakan tersebut, justru di Indonesia muncul gerakan anti feminis. Gerakan Indonesia Tanpa Feminis di laman akun instagram, jika ditelusuri lebih lanjut hal tersebut dilakukan oleh kelompok perempuan Islam konservatif. Mereka menyuarakan pendapat anti feminisme yang didasarkan pada Al-Quran dan hadist, mereka berpendapat bahwa indonesia tidak butuh feminisme serta feminisme lahir dari masyarakat yang tidak menghormati perempuan. Mereka beranggapan bahwa tubuhnya milik Tuhan dan bukan milik diri mereka sendiri. Mereka mengecam keras feminisme dan menolak konsep gender. Salah seorang perempuan anti feminis mengungkapkan bahwa feminisme berbahaya sebab melanggar aturan agama dan melegalkan hubungan di luar orientasi heteroseksual. 

Gerakan feminis lain seperti feminis radikal maupun liberal juga lebih banyak menuntut hak dan seringkali melupakan naluri perempuan, misalnya menolak memiliki anak, menolak upah gaji lebih rendah padahal tingkat kerja dan skala resiko kerja lebih kecil, serta menuntut untuk sepenuhnya menjadi wanita karir. Selain itu, dirinya menolak atas hierarki dengan kaum lelaki. Jika ada pelecehan atau kemalangan pada perempuan, kaum lelaki yang bersalah.

Gerakan feminis dikerahkan untuk mencapai kesetaraan, namun benarkah demikian? Alih-alih menuntut kesetaraan namun nyatanya sisi lain feminisme saat ini bukan tentang kesetaraan. Keadilan, ataupun kualifikasi, melainkan menyalahkan laki-laki. Jika ada pelecehan yang diakibatkan dirinya memamerkan tubuhnya maka yang sepenuhnya salah adalah lelaki. Atas nama feminisme seringkali perempuan menjadikan tameng dan mengelabui. Meminta setara namun jika ada hal persoalan yang sekiranya dirasa keberatan maka mereka menolak atas nama feminisme. Padahal seharusnya, feminisme bukan tentang membenci laki-laki melainkan menjadi kuat untuk diri sendiri, memberi jalan untuk mengambil peluang baik, dan bangga atas diri sendiri. Dengan demikian, seharusnya perempuan tidak perlu risau apakah dirinya gemuk, hitam, dan lainnya. Perempuan akan masih tetap hidup selama ia berpikir dan tidak bertindak yang muluk-muluk agar sesuai dengan trend dan digemari masyarakat.

Adanya feminisme  mulai dipertanyakan kebenaraanya, memang tidak dapat dipungkiri banyak keberhasilan yang diraih kaum perempuan atas dasar gerakan masif tersebut. Berawal dari gerakan tersebut banyak perempuan yang sadar atas keprihatinan yang menimpa kaumnya dan berusaha mengentaskan. Mereka sadar dan  berusaha meningkatkan kualitas diri serta menjaga fitrah. Namun di sisi lain juga seiring gencarnya feminisme juga semakin marak degradasi perempuan serta pertentangan sesama perempuan. Lantas dapatkah dikatakan bahwa feminisme masih perlu diperjuangkan?



Idatus Sholihah 
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia