Indikasi Korupsi Pihak BAAKPSI UTM

Indikasi Korupsi Pihak BAAKPSI UTM

LPM Spirit - Mahasiswa
Jumat, 29 Maret 2019
Massa saat masuk kedalam ruang BAAKPSI UTM guna meminta penjelasan dari pihak BAAKPSI. Foto: Bir.

WKUTM – Kecurigaan terhadap pengelolaan keuangan Biro Akademik Administrasi Kemahasiswaan dan Perencanaan Sistem Informasi (BAAKPSI), menjadi alasan massa yang tergabung dalam organisasi dan badan kelengkapan mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) melakukan aksi pada Jumat (26/03) di Lantai Satu Gedung Graha Utama.

Kecurigaan ini berawal dari Presiden mahasiswa UTM, Jailani Muhtadhy, yang mendapat laporan anggaran tahun 2018 kalau BAAKPSI terindikasi melakukan tindak korupsi. Indikasi  tersebut didasarkan pada kejanggalan beberapa hal, seperti pembuatan buku pedoman mahasiswa yang anggarnnya senilai Rp121.000.000,-. Dalam laporan pertanggungjawaban, disebutkan jumlah buku pedoman yang dicetak sebanyak 4.400 eksemplar dengan harga per item sebesar Rp27.500,- untuk dibagikan pada 3900 mahasiswa serta 500 dosen.  

Adanya hal tersebut dibantah oleh Kepala BAAKPSI, Supriyanto, mengaku pihaknya cuma tahu kalau buku yang dicetak hanya 880 eksemplar sesuai kontrak. Namun, pihak BAAKPPSI tidak memberi tanggapan ketika yang ditemukan hanya 406 eksemplar buku saat mahasiswa masuk menggeledah ruang BAAKPSI.



Dari Buku, Pekan Seni, Sampai Resepsi Wisuda

Kepala Subbagian Administrasi, Sri Mulyani Budianingsih, mengaku laporan yang menjadi tuntutan ada pada dana DIPA dan dalam kenyataan berbeda dengan yang dilaporkan. Diketahui penyusunan buku pedoman 2018 diketuai oleh Yahya Surya Winata  dan pada tahun 2019 ini juga diajukan lagi, namun masih menunggu tim untuk mengerjakannya.  ”Kalau terkait DIPA, memang rinciannya seperti itu, tapi kadang kita laporannya tidak seperti itu dan untuk tahun 2019 kita menganggarkan lagi, tapi belum ada tim untuk membuat buku pedoman tersebut,” paparnya.

Sri Mulyani menambahkan bahwa buku pedoman tersebut dibagikan dari jajaran rektorium sampai prodi. ”Kita mulai bagikan dari rektorat sampai prodi bahkan prodi bisa dapat tiga, imbuhnya.

Pernyataan tersebut dibantah oleh Khoirul Amin, sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) dirinya sudah mengkonfirmasi ke pihak dekan FH kalau pihak fakultas belum menerima buku tersebut.

”Sudah saya konfirmasi ke Dekan FH, ternyata belum menerima buku pedoman tersebut, justru pihak fakultas membuat buku pedoman sendiri,” terang anggota BEM UTM itu.

Senada dengan Amin, Jailani juga mengatakan di Fakultas Keislaman belum mendapat buku pedoman.

Selain indikasi kecurangan pada pembuatan buku pedoman, aksi tersebut juga menyoroti laporan uang wisuda, peksimida, dan peksiminas. Dalam laporan tersebut tertera bahwa juara dalam ajang Pekan Seni Minat Mahasiswa Daerah (Peksimida) mendapatkan hadiah sebesar Rp500.000,- tiap mahasiswa. Jika ditotal sejumlah 25 mahasiswa, hasilnya Rp12.500.000,-. Jailani selaku mantan pengurus UKM Nanggala sekaligus Koordinator Peksimida pada tahun tersebut menyatakan laporan tersebut tidak benar, “Bahkan lima puluh ribu saja tidak diberi,” katanya.

Adapun total anggaran untuk Peksimida dan Peksiminas adalah Rp218.720.000,-.

Permasalahan lain yakni terkait uang pembinaan kepada UKM yang membantu dalam wisuda. Dalam laporan anggaran BAAKPSI terkait uang saku untuk UKM Nanggala, dilaporkan bahwa total uang saku sebesar enam juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, dengan rincian empat puluh lima mahasiswa dengan uang saku sebesar seratus lima puluh ribu per mahasiswa.

”ini sangat berbeda dengan kenyataannya” ungkap Jailani.

Selain itu, anggaran untuk Duta kampus pada saat itu dianggarkan juga sebesar seratus lima puluh ribu untuk 30 Duta kampus, dengan total anggaran sebanyak empat juta lima ratus ribu rupiah.

Menurut salah satu duta kampus pada tahun 2018, Prince Purba, keadaan tidak sesuai seperti yang dianggarkan. Sepengakuannya, duta yang bertugas saat resepsi wisuda hanya empat sampai delapan pasang. Selian itu, duta kampus tidak mendapat uang saku sebanyak yang disebutkan dalam acara wisuda.

”Tiap orang dikasih seratus dua puluh ribu, buat make up saja sudah enggak cukup,” keluhnya.

Menyikapi hal tersebut, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa ada anggaran lain yang tidak dicantumkan, jadi harus dilaporkan yang lain. ”Terkait wisuda, sekali lagi saya tekankan, kalau baca di DIPA itu tidak pasti persis, kita juga dalam wisuda ada satpam dan cleaning service, tapi di situ kan tidak dicantumkan,” kilahnya. (bdi/is/s)