Batas Wajar

Batas Wajar

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 17 Maret 2019

Melakukan sesuatu dengan dilandasi paksaan jelas tidak menyenangkan, bahkan untuk melakukan sesuatu yang bersifat candu seperti kegiatan yang melibatkan benda diantara kedua kaki. Namun diantara alasan yang hampir semua tidak menyenangkan tersebut, nyatanya sebuah paksaan tetap memiliki keuntungan. Suatu kali paksaan bisa menjadi semacam cara untuk mengetahui dan menggali potensi diri yang seringkali batas itu memang hanya batas kenyamanan diri sendiri.

Sejak kecil, saya telah banyak menerima paksaan mulai dari orang tua, teman sekolah, aturan rumah, aturan negara, dan masih banyak lagi. Memikirkan hal tersebut saya malah merasa mungkin saya tidak punya obsesi pribadi karena terus berusaha menyesuaikan diri dengan espektasi paksaan-paksaan sekitar. Mungkin hal tersebut juga dirasakan orang lain. Kesadaran itu tumbuh begitu saja, bahwa kedaulatan atas diri sendiri adalah omong kosong dan impian hanya akan menjadikan orang semakin cepat gila.

Disadari atau tidak kebebasan itu tidak pernah ada, termasuk kebebasan melakukan sesuatu seperti yang kita harapkan. Karena sebetulnya ketika seorang berjuang untuk membebaskan diri, bukan berarti dia seketika mendapatkan kedaulatan atas dirinya. Sebaliknya, dia hanya akan menemukan diri berada dalam batasan yang lain. Akan tetapi maksud saya bukan kebebasan itu yang terpenting. Saya khawatir jika ada ungkapan secara implisit bahwa berjuang untuk kebebasan diri adalah sia-sia dan lebih baik tidak dilakukan. Itu memang masuk akal menganggap demikian jika tujuan dari berusaha adalah hasil. Padahal di sisi lain usaha tidak harus mati-matian dengan hasil yang sama.

Dalam konteks ini kebebasan bisa berarti banyak hal, seperti kegilaan yang biasa kawan saya  lakukan dengan menyesatkan diri di jalan-jalan yang belum dia ketahui. Terutama di kota-kota besar seperti Surabaya. Jika ditanya alasan, dengan lagak bijaksana dia akan menjawab, cari pengalaman. Dia tidak akan peduli bagaimana perasaan saya waktu itu ketika mendengar jawabannya. Saya merasa dipermainkan dengan percobaannya mengenal gang tikus di Surabaya. Mungkin bagi remaja yang  sedang kasmaran akan suka jika bisa menikmati waktu lebih lama berdua, dengan dalih tersesat. Masalahnya, saya laki-laki begitupun dirinya, saya tak habis pikir setan apa yang telah masuk ke dalam pikirannya.

Namun harus saya akui, pengetahuannya tentang jalanan kota Surabaya lebih baik dari semua teman dekat saya. Itu juga salah satu alasan saya meminta dia mengantarkan saya. Ketika saya tahu dia sengaja menyesatkan diri, kita sedang di jalanan dan kita mengalami semacam “konflik kepentingan”. Meskipun secara harfiah kami memiliki tujuan yang sama – untuk sampai ke tempat tertentu. Tapi saya dan dia memiliki tujuan yang lain, tujuan saya untuk cepat sampai, dan tujuan teman saya adalah untuk menambah pengetahuannya tentang jalan-jalan di Surabaya. Di sisi lain, saya hanya meminta tolong kepadanya dan dia tidak meminta ganti secara materi, istilahnya saya hanya menumpang dan dia bosnya. Segala bentuk protes dan syarat seharusnya tidak pantas bagi saya. Sehingga saya diam saja.

Rasanya sangat bertentangan ketika selama ini seminar-seminar motivasi selalu mendorong orang untuk mempunyai cita-cita dan mengusahakannya sekeras mungkin. Dalam contoh kasus saya, kepentingan pribadi tidak bisa dipaksakan atau diusahakan untuk ‘sesuai’ dengan apa yang saya mau. Begitu juga dalam contoh realitas yang lain, karena ada batasan tertentu yang tidak seharusnya dilewati begitu saja. Batasan ini yang memaksa siapapun untuk tidak berlaku seenaknya sendiri dalam kehidupan sosial.

Mengetahui banyaknya batasan-batasan tersebut itulah yang membuat saya berpikir dua kali memiliki keinginan yang bersifat pribadi seperti cita-cita, atau menjadi orang sukses, (baca: kaya) dan keinginan klise yang egois lainnya. Mungkin bisa juga saya disebut pengecut karena tidak berani melihat keinginan-keinginan saya itu tidak terwujud sehingga memilih tidak memilikinya. Dikatakan seperti itu juga tidak masalah bagi saya, karena memang demikian adanya. Saya takut menjadi gila karena menginginkan sesuatu.


Bukan berarti dengan begitu saya tidak menyukai atau tidak menyarankan berbagai bentuk usaha. Maksud saya, usaha tetap dibutuhkan, hanya kadar kepantasan itu perlu untuk mengurangi usaha yang berlebih, mungkin bisa disebut ambisius. Jika begitu adanya, sangat mungkin orang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Disini sadar akan batasan-batasan tersebut diperlukan, dengan melakukan semuanya sepantasnya dan tidak berlebihan.


Adam Abdullah 
Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris