Melakukan sesuatu dengan
dilandasi paksaan jelas tidak menyenangkan, bahkan untuk melakukan sesuatu yang
bersifat candu seperti kegiatan yang melibatkan benda diantara kedua kaki.
Namun diantara alasan yang hampir semua tidak menyenangkan tersebut, nyatanya
sebuah paksaan tetap memiliki keuntungan. Suatu kali paksaan bisa menjadi
semacam cara untuk mengetahui dan menggali potensi diri yang seringkali batas
itu memang hanya batas kenyamanan diri sendiri.
Sejak kecil, saya telah banyak
menerima paksaan mulai dari orang tua, teman sekolah, aturan rumah, aturan
negara, dan masih banyak lagi. Memikirkan hal tersebut saya malah merasa
mungkin saya tidak punya obsesi pribadi karena terus berusaha menyesuaikan diri
dengan espektasi paksaan-paksaan sekitar. Mungkin hal tersebut juga dirasakan
orang lain. Kesadaran itu tumbuh begitu saja, bahwa kedaulatan atas diri
sendiri adalah omong kosong dan impian hanya akan menjadikan orang semakin
cepat gila.
Disadari atau tidak kebebasan itu
tidak pernah ada, termasuk kebebasan melakukan sesuatu seperti yang kita
harapkan. Karena sebetulnya ketika seorang berjuang untuk membebaskan diri,
bukan berarti dia seketika mendapatkan kedaulatan atas dirinya. Sebaliknya, dia
hanya akan menemukan diri berada dalam batasan yang lain. Akan tetapi maksud
saya bukan kebebasan itu yang terpenting. Saya khawatir jika ada ungkapan
secara implisit bahwa berjuang untuk kebebasan diri adalah sia-sia dan lebih
baik tidak dilakukan. Itu memang masuk akal menganggap demikian jika tujuan
dari berusaha adalah hasil. Padahal di sisi lain usaha tidak harus mati-matian
dengan hasil yang sama.
Dalam konteks ini kebebasan bisa
berarti banyak hal, seperti kegilaan yang biasa kawan saya lakukan dengan menyesatkan diri di jalan-jalan
yang belum dia ketahui. Terutama di kota-kota besar seperti Surabaya. Jika
ditanya alasan, dengan lagak bijaksana dia akan menjawab, cari pengalaman. Dia
tidak akan peduli bagaimana perasaan saya waktu itu ketika mendengar
jawabannya. Saya merasa dipermainkan dengan percobaannya mengenal gang tikus di
Surabaya. Mungkin bagi remaja yang sedang
kasmaran akan suka jika bisa menikmati waktu lebih lama berdua, dengan dalih
tersesat. Masalahnya, saya laki-laki begitupun dirinya, saya tak habis pikir
setan apa yang telah masuk ke dalam pikirannya.
Namun harus saya akui,
pengetahuannya tentang jalanan kota Surabaya lebih baik dari semua teman dekat
saya. Itu juga salah satu alasan saya meminta dia mengantarkan saya. Ketika
saya tahu dia sengaja menyesatkan diri, kita sedang di jalanan dan kita
mengalami semacam “konflik kepentingan”. Meskipun secara harfiah kami memiliki
tujuan yang sama – untuk sampai ke tempat tertentu. Tapi saya dan dia memiliki
tujuan yang lain, tujuan saya untuk cepat sampai, dan tujuan teman saya adalah
untuk menambah pengetahuannya tentang jalan-jalan di Surabaya. Di sisi lain,
saya hanya meminta tolong kepadanya dan dia tidak meminta ganti secara materi,
istilahnya saya hanya menumpang dan dia bosnya. Segala bentuk protes dan syarat
seharusnya tidak pantas bagi saya. Sehingga saya diam saja.
Rasanya sangat bertentangan
ketika selama ini seminar-seminar motivasi selalu mendorong orang untuk
mempunyai cita-cita dan mengusahakannya sekeras mungkin. Dalam contoh kasus
saya, kepentingan pribadi tidak bisa dipaksakan atau diusahakan untuk ‘sesuai’
dengan apa yang saya mau. Begitu juga dalam contoh realitas yang lain, karena
ada batasan tertentu yang tidak seharusnya dilewati begitu saja. Batasan ini
yang memaksa siapapun untuk tidak berlaku seenaknya sendiri dalam kehidupan
sosial.
Mengetahui banyaknya
batasan-batasan tersebut itulah yang membuat saya berpikir dua kali memiliki
keinginan yang bersifat pribadi seperti cita-cita, atau menjadi orang sukses,
(baca: kaya) dan keinginan klise yang egois lainnya. Mungkin bisa juga saya
disebut pengecut karena tidak berani melihat keinginan-keinginan saya itu tidak
terwujud sehingga memilih tidak memilikinya. Dikatakan seperti itu juga tidak
masalah bagi saya, karena memang demikian adanya. Saya takut menjadi gila
karena menginginkan sesuatu.
Bukan berarti dengan begitu saya tidak
menyukai atau tidak menyarankan berbagai bentuk usaha. Maksud saya, usaha tetap
dibutuhkan, hanya kadar kepantasan itu perlu untuk mengurangi usaha yang
berlebih, mungkin bisa disebut ambisius. Jika begitu adanya, sangat mungkin orang
akan melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Disini sadar akan
batasan-batasan tersebut diperlukan, dengan melakukan semuanya sepantasnya dan
tidak berlebihan.
Adam Abdullah
Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris