Dana Kampanye - Dana Perjuangan

Dana Kampanye - Dana Perjuangan

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 24 Februari 2019

"Dananya seret. Bikin pusing. Istilahnya harus ada kepala bidang sakit kepala." -Dradjad Wibowo, politikus.

Masa kampanye untuk Pemilu 2019 dimulai 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Sedangkan siklus roda kampanye untuk kemenangan itu butuh duit. Biaya spanduk, sewa gedung, kendaraan, makan, iklan, aset, tim sukses, sampai orang yang datang ke kampanye saja juga minta sangu. Bisa kita bayangkan, berapa uang yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Belum lagi, dana untuk mahar kepada partai-partai agar menjadi kubu pemenangan. Seperti pengalaman Ketua Kamar Dagang dan industri, La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang mengaku diminta Ketua Umum Partai Gerindra menyerahkan uang sebesar 40 miliar. Jika dihitung keseluruhan, meskipun sudah mengeluarkan ratusan miliar, toh terkadang dana tersebut masih tidak cukup untuk biaya berkampanye dan keseluruhannya. Untuk itulah sumbangan berupa dana untuk kampanye sangat dibutuhkan pasangan calon. Istilah lain, kita dapat melakukan 'donor duit' kepada pemilu.

Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga telah meluncurkan rekening dana kampanye pada Oktober 2018 lalu, yang kemudian kali ini disusul oleh munculnya rekening donasi pasangan calon Prabowo - Sandiaga yang sedang mengklaim kekurangan dana kampanye. Hal ini begitu dieluhkan oleh pasangan calon yang menjadikan sedikit mandeknya kegiatan kampanye. Maka dari itu, rakyat diharapkan dapat memberi sumbangan dana yang merupakan bentuk aspirasi dan antusias masyarakat, terkait kesadaran politik untuk membantu minimnya dana kampanye ini.

Berbicara terkait dana, tentunya komisi pemilihan umum (KPU) tidak membolehkan dana berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumbangan dari pihak asing. Apalagi sumber-sumber ketidakjelasan dana kampanye. Untuk membatasi dana sumbangan kampanye, KPU juga telah menegaskan bahwasannya total bantuan yang seharusnya, hanya boleh serah terima dari perorangan maksimal Rp 2,5 miliar per tahun dan korporasi sebesar Rp 25 miliar per tahun.

Guna mempercayai hal tersebut, maka yang bisa kita telisik yakni persoalan terkait pengolahan kejujuran dana keuangan tersebut. Karena kita juga tidak bisa memungkiri suatu ketika akan terjadi adanya peluang masuk dana-dana siluman yang melebihi batas wajar ketetapan sumbangan dana. Dana terselubung ini menggiurkan dan memabukkan. Tentunya hal ini juga membuat rasa bimbang antara menolak maupun menerimanya. Karena jika dipikir-pikir lagi, dengan dana besar, juga bisa sedikit membantu untuk mendongkrak kembali aktivitas dalam berkampanye pada khalayak.

Melihat realitas ini, KPU memang tak tinggal diam. Buktinya segera memiliki sebuah kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye. Semua hasil laporan dana kampanye harus diinformasikan ke kantor akuntan. Hal yang cukup baik, meskipun usut punya usut dana kampanye bisa saja tidak dilaporkan. Hal ini bertujuan untuk mengakali sejumlah batasan sumbangan yang sebenarnya berlebih-lebihan. Tentunya dengan dana gelap tersebut, mereka akan bisa melakukan kampanye besar-besaran di berbagai wilayah supaya nama dan elektabilitas semakin naik. Mereka akan melakukan nya dengan tenang sambil ngopi. Karena mereka mengerti berita bagusnya, jika dana-dana tersebut dapat tidak terlihat dalam laporan. Mudah saja hal itu terjadi. Keseluruhan data tak sepenuhnya ditulis, karena mereka tahu sistem kerja kantor akuntan hanya memeriksa dana yang dilaporkan peserta pemilu. Mereka tidak mau bersusah payah mengamati seluruh aktivitas kampanye peserta.

Supaya terpilih memang butuh biaya. Katanya , kampanye sebagai bentuk pengenalan calon kepada masyarakat. Sedangkan berkampanye itu mahal. Kasihan jika sudah menyumbang dana, akan tetapi masih tidak mengerti secara jelas visi-misinya. Terlebih lagi jika tidak terealisasikan. Ini tentu bukanlah perjudian. Jadi ketika dana kampanye sudah bermain-main dengan api, maka nantinya jangan kepanasan ketika pihak pemberi dana meronta-ronta menagih imbalannya. Entah itu masyarakat maupun siluman.


Bena Icha Aisyah (Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris)