Tak Ada
Gunanya
Mataku memandang dalam kaca
menyaksikan diri menghitung batu kerikil
yang jujur, tak ada gunanya.
Sesekali kuteriak pada diri sendiri.
Memang, aku seperti tak ada
guna!
Siapa Yang Mau
Sepi?
Bilamana aku masih terlelap di umur yang 25.
Sedang bangun-bangun
disampingku hanya ada kucing.
Dan lampu kamar meredup seperti kehabisan tenaga.
Juga jendela enggan menyambut, apalagi
kekasih, apalagi kekasih.
Di depan kaca aku hanya ingin menari.
Seperti pucuk kembang jambu di dekat bagasi.
Aku tawarkan,
siapa yang mau sepi.
Siapa yang mau sepi?
Mari kesini, kuajari ciptakan sepi yang baik
Orang Jauh
Aku tak ingin seperti ini. Ketika orang jauh
bahkan yang sangat jauh menyakiti kita, menyakiti diri ini dari kejauhan.
Seperti sebuah pistol menangkap dan mengancam mata-mata burung, padahal ia
sedang ingin sekali bahagia dengan mematuk-matuk kepala kekasihnya.
*
Padahal aku selalu percaya, kita hidup ada di
pohon paling teduh, tak ada kesakitan juga keraguan yang menggelatung seperti
awan yang pucat. Atau kesakitan juga tiba-tiba menyerang seperti nyamuk yang
sedang kelaparan
*
Tapi percaya tidak percaya, akan ada
banyak orang, orang jauh bahkan, yang begitu mudah menciptakan
kesakitan-kesakitan yang menggumpal. Ingin sekali aku menggulung kesakitan itu
seperti aku menghilangkan tikar dalam datar. Tapi percuma saja, mereka berbekal
peluru penembus bahagia.
Pohon
Pura-Pura
Yang mengakar sampai kerak adalah pohon kepura-puraanmu.
Padahal hari ini
aku tidak ingin menjelma menjadi penebang pohon yang serakah.
Aku tetap ingin pohon itu terus tumbuh
juga membiarkan.
Tetapi, bukan untuk menunggu
sampai gugurnya daun pura-pura.
Tapi aku menunggunya, sampai
pusaran menumbangkan kukuhnya.
Mengubur Sepi
Sepiku telah kukubur, kasih
di sebelah mesin kenangan yang
kuletakkan di belakang rumah.
Ya, mesin telah berkarat
saban hari sebab tak ada yang mau merawat
Yulia Rahmatika (Mahasiswa Pendidikan IPA UTM)