Foto: Yul
WKUTM – Aplikasi KUBUKU yang menjadi program baru
perpustakaan UTM dalam pengadaan e-book
kini tidak dapat ditemukan di Play Store. Terkait masalah itu, Bondhan
Endriawan selaku Pustakawan dan Pengurus E-book UTM menjelaskan bahwa masalah
itu terletak pada kesalahan sistem seperti rendahnya rating. Selain itu, adanya
beberapa konten yang rentan, semacam disedotnya data informasi pengguna juga
ditengarai jadi penyebabnya.
”Sebenarnya, e-book UTM bukan berarti sudah tidak
ada. Hanya saja KUBUKU E-library UTM mempunyai rating rendah di playstore yang
menyebabkan server sistem secara otomatis terkunci, mungkin juga aplikasi
mempunyai konten yang rentan, seperti menyedot data informasi pengguna,” jelasnya.
Bondhan juga menjelaskan kalau program e-book itu masih dalam tahap uji coba
respon dari mahasiswa. Namun, dari sana ia juga mengungkapkan kalau e-book akan kembali diadakan pada 2019
mengingat data peminatnya cukup tinggi. Setidaknya ada 504 pengunjung dengan
152 pembaca yang sudah tercatat di data pihak perpustakaan.
“Sebenarnya, di tahun ini e-book bagian dari uji coba
respon mahasiswa terhadap buku digital. Melihat data dan pengguna yang banyak
meskipun hanya tersedia 60 e-book
saja, kami akan terus berlangganan e-book
sehingga bisa digunakan di tahun mendatang,” ujarnya.
Hanin Dwi selaku
Koordinator Pelayanan Perpustakaan tidak merasa keberatan dengan adanya e-book. Tapi ia menyarankan jika
mahasiswa kurang puas terhadap buku digital, maka mahasiswa masih bisa membaca
buku secara manual.
"Jika
kurang puas terhadap e-book, bisa
memilih buku. Karena buku akan tetap ada penambahan jumlah setiap tahun,” paparnya.
E-book atau
Repository. Mana yang harusnya di dahulukan?
Repository
merupakan kumpulan paket software dari distro-distro linux, yang dapat di akses
melalui internet. Diharapkan dengan repository skripsi, tesis dan disertasi bisa
diakses dengan mudah melalui intenet.
Bondhan yang
berkaca pada kampus lain amat menyayangkan keputusan pihak rektorat yang mengutamakan
launching e-book daripada
repository. Ia memaparkan, repository merupakan hal yang penting agar
penelitian bisa diakses berbagai pihak luar civitas akademika, yang nantinya juga
berpengruh pada rating universitas.
”Jika kita
membandingkan dengan kampus-kampus lain. Kita tertinggal jauh. Saya begitu
menyanyangkan, mengapa e-book saja
yang mendapat persetujuan. E-book
hanya bisa diakses dan dinikmati oleh civitas akademika saja. Sedangkan
penelitian harusnya bisa diakses ke semua orang supaya ada perbaikan dan
pengembangan. Kalau tidak begitu, maka secara keilmuan tidak berkembang.
Padahal itu juga bisa dibuat untuk penaikan rating Universitas,” ungkapnya.
Adapaun terkait ketakutan plagiarisme, bagi Bondhan
itu bukan alasan untuk tidak merealisasikan program repository. Ia berpandangan
hal tersebut bisa diatasi dengan membuat strategi seperti memasang logo kampus
atau memprogram teks agar tidak dicopy-paste.
Ia menegaskan langkah tersebut harus segera dikembangkan agar UTM tidak makin
tertinggal. Ia juga berharap, Ketika memang ada penambahan sistem, maka
seharusnya e-book dan repository
dapat berjalan beriringan.
”Ketika
berbicara digital. Bisa dilihat bahwa e-book
dan repository sama-sama digital dan menggunakan sistem. Namun sayang, pihak
universitas tidak mengkaji lebih dalam terkait mana yang lebih penting, e-book atau repository,” pungkasnya. (Ben/Raj)