Resensi Bumi Manusia

Resensi Bumi Manusia

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 16 September 2018

Judul Novel          : Bumi Manusia
Penulis                  : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                 : Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Isi                          : 535 halaman
Tahun Terbit          : 2011 cetakan ke-17


Baru-baru ini, Hanung Bramantyo, sutradara terkenal itu mengangkat novel Bumi Manusia, buku pertama tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer ke layar lebar. Kabar  itu  membuat ramai banyak orang. Begitu juga setelah Hanung mendapuk Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, aktor yang memerankan Dilan dalam film yang diangkat dari novel Pidi Baiq, menjadi pemeran utama sebagai Minke. Barangkali, hal itu yang membuat generasi milenial bertanya-tanya, siapakah Pramoedya itu?


Pram adalah penulis Indonesia legendaris dalam sejarah sastra Indonesia. Ia telah melahirkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan dalam bahasa 41 bahasa lain. Salah satu karya besarnya adalah Buku tetralogi Pulau Buru, 4 roman yang saling bertautan. Pada 1980-an, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca dan semua karya Pram sempat dilarang beredar. Konon dianggap membahayakan karna mengandung ajaran yang tak sesuai dan mengancam ideologi bangsa. .


Bumi Manusia sendiri bercerita tentang Minke, seorang pribumi, jawa tulen. Ia bersekolah di HBS (Hoogere Burger School). Sekolah yang setara dengan SMA dan  tak sembarang orang bisa mendapat pendidikan di sana. Hanya kaum totok atau orang Eropa Asli, Indo atau campuran, juga Pribumi yang memiliki kedudukan tinggi yang berhak memperolehnya.


Dalam novel ini ia digambarkan sebagai sosok yang begitu cerdas dan pandai dalam membaca dan menulis. Ia sebenarnya mempunyai gelar bangsawan, namun ia tak pernah memakainya, maka Minke—plesetan nama kata “monkey”—yang lebih banyak digunakan. Minke merupakan anak dari bupati B (ditulis seperti itu dalam novelnya)  yang hidup diantara orang-orang berkulit putih. Intensitas pergaulan minke dengan kaum eropa perlahan membuat ia mengaggumi adat istiadat dan kehidupan orang eropa. Minke pelan-pelan melupakan tradisi yang telah diwariskan nenek moyangnya, yaitu Jawa, sekalipun keluarganya merupakan penganut budaya jawa yang fanatik, terlebih ayahnya yang berbanding terbalik dengan Minke.


Kisah tersebut seolah-olah menyentil kelakuan orang-orang di masa lalu, dimana percampuran budaya yang dialami pribumi, membuat mereka jadi pengagum budaya Barat. Bahkan Pribumi yang memiliki kebudayaan sendiri, bukannya bangga dan mengenalkan budayanya, malah menyesuaikan diri terhadap budaya yang dibawa oleh bangsa luar. Padahal sebelum Belanda datang, sesungguhnya pribumi telah mengenal teknologi. Pribumi mampu mengolah logam, membuat apapun dari bahan kayu-kayu dan memiliki peradaban yang jauh lebih maju daripada bangsa eropa.


Minke, dalam buku ini yang memuja modernisme menjadi manifestasi perenungan untuk mencapai kebebasan. Minke digambarkan sebagai kebebasan yang esensial terhadap pencarian eksistensi. Tak hanya tentang Minke, buku yang mengambil latar abad 18 juga menceritakan sosok Nyai Ontosoroh. ‘Nyai’ yang kala itu dianggap rendah oleh orang-orang lantaran menjadi gundik, wanita simpanan orang-orang Eropa


Pram, lewat tokohnya pelan-pelan mengajak kita untuk tidak memandang rendah setiap orang dengan sebelah mata. ‘Adil sejak dalam pikiran,’ demikianlah yang ditulisnya. Minke yang diceritakan jatuh hati pada Annalise Malema, anak Nyai Ontosoroh, membuat dirinya sadar kalau Nyai Ontosoroh tidak seperti Nyai-nyai pada umumnya di masa itu. Pram seolah mendobrak, mengubah pandangan pada apa-apa yang marak terjadi sekarang. Adil sejak dalam pikiran, Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia mengingatkan kita pada pepatah lama, jangan menilai buku hanya dari sampulnya.


Yang menjadi daya tarik dalam membaca buku ini salah satunya adalah kisah cinta antara Minke dan Annelise. Kisah cinta yang penuh akan perjuangan dan tuntutan akan hak-hak seorang anak manusia. Pahit getir perjalanan pernikahan mereka dimulai dari tidak diakuinya pernikahan mereka oleh pemerintah Belanda. Nyai Ontosoroh tidak terikat dalam pernikahan yang diakui oleh pemerintah Eropa, sebab Nyai hanyalah gundik.


Setelah Herman Mellema meninggal di tempat pelacuran, Maurist Mellema, anak tunggal Herman Mellema dari istri yang sah telah menuntut hak perusahaan juga Annelies sendiri, sebagai milik mereka. Sekalipun Nyai Ontosorolah yang merawat baik perusahaan maupun Annelies sejak dari kecil.


Di sinilah nantinya diceritakan ketidakadilan yang terjadi kepada Pribumi. Perjuangan menuntut hak, kegigihan dan arti penting dari kehormatan sebuah perlawanan. Novel ini tidak lain adalah lanskap penjajahan yang ada di Indonesia. Pram menceritakan pahit, sakit, getir di era penjajahan. Yaitu ketika Pribumi tidak bisa berbuat banyak dan tidak berdaya melakukan apa-apa. Sekalipun ketidakadilan benar-benar di depan mata.


Membaca novel ini dengan alur yang runtut, kita seperti diajak menelisik berbagai kejutan-kejutan yang mengalir deras, dari dialog yang ditulis oleh Pram. Realitas budaya Jawa yang menggambarkan kemauan keras, juga cita-cita untuk mencapai kesejahteraan telah membuat Minke, anak priyai itu sadar jika sesungguhnya begitu peliknya kehidupan jajahan. Minke berusaha bebas untuk menghilangkan perihal kolonialisme dan feodalisme yang terjadi di pribumi ini.


Pram berhasil membuat pembaca berdecak kagum. Nilai kemanusian, nasionalis, moralitas, akan dengan mudah didapatkan setelah membaca buku-bukunya. Selain itu, kelihaian Pram juga nampak dalam menyuguhkan pesan, baik tersurat maupun tersirat, di setiap paragrafnya bahkan disetiap kalimatnya. Bumi Manusia, salah satu karya hebat yang pernah saya baca. Ia mengajarkan, bagaimana seharusnya bersikap, menempatkan sesuatu pada tempatnya, kalaupun kagum, kagumlah sesuai dengan porsi yang sesungguhnya.

Diresensi oleh Yulia Rahmatika, mahasiswa Prodi Pendidikan IPA UTM