Ramadan dengan segala kulturalnya telah usai, syawal dengan
kejutan setiap tahunya telah menanti. Dengan ini tidak perlu susah-susah (lebay
– overacting) membuat status untaian
kata di media sosial, seperti: ”Ramadan telah usai, semoga kita dipertemukan
tahun depan,” atau ”Akan kurindukan engkau (ramadan) pada tahun-tahun
berikutnya.” Sungguh! Anda tidak perlu melakukannya. Namun, sebelumnya ucapan
selamat yang besar untuk anda semua yang masih hidup dan bisa membaca tulisan
ini. Juga; selamat buat anda yang masih berkumpul keluarga dengan cara pribadi
yang belum dilakukan oleh keluarga lain. Selain itu, anda sah untuk berterima
kasih yang banyak kepada pemberi hidup karena masih dikumpulkannya insan-insan
dalam satu ruangan, karena tidak semua orang merasakan hal yang sama.
Ramadan tahun ini telah usai. Dulu, orang tua sering bilang,
”Jika tidak ikut puasa, maka tidak layak ikut hari raya.” Jika ditelan dengan
bantuan air agar cepat ditelan, maka omongan itu biasa saja. Namun,
sesungguhnya kalimat sederhana itu adalah representasi dari fase yang luar
biasa dan rumit yang disederhanakan.
Sebulan lalu kita (mungkin) menggencarkan peribadatan,
karena memang kalkulasi pahala sampai 70 kali lipat. Belum lagi dengan bonus
malam kemuliaan yang konon lebih baik dari seribu bulan. Tidak hanya orang taat
yang menambah kuantitas ibadah mereka, bahkan banyak pelacurpun yang
berlomba-lomba berinvestasi untuk hari pembalasan kelak. Ya, sah-sah saja
sebenarnya. Jika kita pakai kalkulator untuk menghitung, maka hasilnya cukup
untuk setahun. Namun, kalkulator Tuhan tidak sesederhana matematika di bangku
perkuliahan. Jadi, kita tidak bisa dengan mudah menghitung investasi pahala
untuk menebus kehidupan layak di hari yang abadi.
Sebenarnya adakah
yang salah?
Tidak. Selama ini kultur semacam ini terus berjalan. Namun,
sangat disayangkan jika masih dari kita tidak mengerti hal-hal sederhana di
sekitar kita. Malah, sering kita ribut dengan yang rumit, sampai kita lupa
dengan kesederhanaan. Masih banyak dari kita mengambil pesan di balik ramadan,
hari raya khususnya. Padahal, banyak pesan terkandung pada dua fase tersebut.
Tentang puasa sebenarnya adalah sebuah jalan. Jalan menuju
ke surga. Surga yang bertuliskan tidak menerima orang yang sombong dan pelit
pada pintu masuknya. Puasa adalah salah satu cara kita mengontrol hawa nafsu
pada tingkat dasar, makan-minum. Namun, tidak hanya itu yang perlu dikontrol,
melainkan hawa nafsu dan amarah adalah faktor utama. Bukan bermaksud untuk
menghilangkan sifat kodrat pada manusia, hanya mengontrolnya. Sampai Imam
Ghazali memetakan 3 jenis berpuasa yaitu; puasa hewan, manusia, dan malaikat.
Jika hewan berpuasa cukup waktu sahur kasih makan dan setelah itu cukup
tempatkan pada kandang. Jika hewan itu punya pasangan, pisahkan pada kandang
lain. Satukan dan beri makan ketika sudah maghrib. Pasti bisa, kok. Pasti nanti
hewan itu cuma tiduran saja. Sedang untuk puasa malaikat ataupun hewan pembeda
hanya pada akal yang dimiliki manusia dan hilangnya hawa nafsu pada malaikat.
Katanya, sih, gitu.
Lalu, pasti akan ada pertanyaan, ”Berarti boleh kita tidak
berpuasa kalau sudah tidak sombong?” Ya, boleh saja. Namun, tidak bisa kita
menafikan manusia tempatnya salah dan lupa. Jadi, kesimpulannya tidak boleh.
Syahdan, tentang hari raya. Pelajaran berharga yang bisa
kita ambil adalah manusia yang berpuasa akan menemui hari raya. Pelajaran ini
seperti yang dikatakan oleh orang pada awal pembahasan tadi. Jika kita membuka
literasi (googling) maka kita akan
menemukan banyak tafsiran bahwa hari raya adalah hari berbuka, fitri,
kembali, dan lain-lain. Walaupun seperti itu, hari raya tidak hanya pada Islam.
Namun, masih banyak hari raya yang diamini oleh umat selain Islam. Dalam suatu
riwayat pernah Muhammad berkata kepada Abu Bakar, ”Wahai Abu Bakar,
sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita.”
Dalam sejarahnya, sebelum hari raya Idul Fitri ataupun Adha, ada hari raya
Nairuz dan Mahrajan sejak zaman Persia kuno.
Sebenarnya, boleh kita mengartikan apa saja tentang hari
raya. Yang jelas harus ada fase untuk menuju kepadanya. Lebih baik lagi kita
memetik pelajaran berharga karena berhasil atas suatu proses. Ya, masih seperti
kata orang tua tadi. Ibaratkan hari raya adalah sebuah hadiah, maka puasa pada
bulan ramadhan sebagai syaratnya. Lalu, jika hari raya adalah syaratnya, maka
hadiahnya perlu kita pikirkan bersama. Karena hari raya bukanlah ujung dari
peribadatan kita selama ini. Sehingga, hal dasar kita bisa nimbrung di
hari raya, sebenarnya tidak layak jika puasa kita selama ini masih
bolong-bolong tanpa alasan yang jelas. Atau seperti ini, bolehkah orang
mendapatkan hasil tanpa adanya usaha? Tidak.
Lalu, bagaimana dengan orang menemui hari raya sedang tidak
berpuasa? Itu sudah urusan sang pencipta. Bisa saja Tuhan memberikan
nikmat menemui hari raya, tapi nikmat
hidup semata, ya hanya nikmat hidup. Nilai yang terkandung dalam hidup dan hari
raya beda cerita. Toh, banyak orang yang bisa apa saja tapi tidak merasakan
yang terjadi padanya.
Terakhir, mengutip orang-orang dulu, jika setelah ramadan
ini peribadahan kita secara horizontal atau vertikal semakin baik dari
sebelumnya, maka boleh dikatakan orang yang berhasil. Dan inilah tantangan
sebenarnya buat kita. Karena memang semua kembali pada diri masing-masing.
Bahkan, pada perang yang besar Muhammad pernah bilang, ”Kita pulang dari perang
kecil dan menuju perang yang lebih besar,” perang Badar. Jika perang besar
sekelas Badar dikatakan perang kecil oleh suri tauladan dan orang nomor satu
paling berpengaruh di dunia, maka hanya untuk menahan makan-minum, tugas
kuliah, urusan perasaan, pekerjaan, dan lainnya itu urusan apa?
Oleh: Birar Z
Anggota LPM-SM