Teror Bom, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Teror Bom, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

LPM Spirit - Mahasiswa
Minggu, 20 Mei 2018

Ilustrasi: Time


Sekitar seminggu terakhir rentetan kejadian teror bom di beberapa daerah begitu marak membuat resah. Dan lagi-lagi, kelompok yang dituding menjadi dalang rentetan kejadian itu adalah Jamaah Asharut Daulah. Selalu saja golongan beragama haluan ekstrimis yang disalahkan publik dengan dalih perpecahan umat.

Hari minggu lalu, ketika suasana masih riuh, kabar yang meluas melahirkan presepsi serta asumsi hasil dari informasi yang dikunyah mentah-mentah dari media. Saat itu, kecaman dan gerakan-gerakan baru bermunculan di masyarakat, seperti #kamitidaktakut dan lain sebagainya. Dari sana pula, muncul beragam asumsi masyarakat yang masih menerka-nerka dan penuh ketakutan akan konspirasi. Asumsi pengalihan isu, politik adu domba, konflik yang sengaja diciptakan agar ada kebijakan baru yang menguntungkan beberapa oknum, pun yang mengatakan jika kejadian di Polrestabes Surabaya adalah imbas dari kejadian di Mako Brimob, Kelapa dua, Jakarta. Setidaknya itulah yang menjadi pergunjingan di kalangan masyarakat awam sebagaimana yang diamini Kapolri saat konferensi pers di Surabaya.

Lalu, sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Hari Minggu itu, saya sedang berada di Lamongan, di PP Sunan Drajat, tepatnya. Di sana saya mendengar K.H Abdul Ghofur bertausyiah, satu pesan  yang bisa saya ambil dari tausyiahnya adalah, kita terlalu sibuk mengurus hal-hal yang kecil sehingga lupa pada hal yang besar. Kita sibuk merisaukan bom-bom kecil yang terjadi saat ini, sedang di Suriah dan Palestina bom yang diledakkan jauh lebih besar. Belum lagi satu bom yang bernama ideologi, bom yang mampu menghancurkan sampai tujuh turunan. Bom inilah yang menimbulkan berbagai gerakan pemberontakan pada siapapun yang tidak sejalan.

Masih dengan pertanyaan yang sama, sebenarnya apa yang terjadi?

Jika pihak kepolisian Indonesia berasumsi bahwa rentetan kejadian berawal dari Mako Brimob, maka banyak kejanggalan yang perlu dikaji ulang. Sebagaimana tanggapan pihak kepolisian yang menyatakan sebab dari kerusuhan tersebut berasal dari masalah makanan.

Maksud saya seperti ini, tahanan atau napi adalah orang yang biasa lapar dan dituntut untuk tahan, tidak mungkin cuma gara-gara makanan. Saya sempat melihat beberapa video yang beredar di youtube pasca kejadian terjadi. Sempat ada satu video yang saya kira direkam oleh salah satu tahanan. Dalam video itu terdengar seruan bahwa, kitab mereka telah diinjak, sehingga mereka mendeklarasikan perang. Ada pula yang sempat live di instagram namun, tidak berselang lama akun tersebut hilang.

Lalu, kejanggalannya seperti ini, kenapa tahanan bisa membawa ponsel, dan bagaimana bisa ratusan napi lepas dari kurungan mereka. Padahal, idealnya sebuah penjara memiliki keamanan yang mewadahi. Terkait kejanggalan ini saya tidak akan memberikan kesimpulan apapun. Yang jelas semua sudah terjadi. Dan Indonesia sedang sakit.

Lalu, benarkah kejadian ini atas nama agama? Tidak, esensi dari agama adalah membawa kedamaian, jika belum damai, maka ada yang salah dalam beragama.

Jika memang teroris-teroris itu berasal dari kelompok yang mengatasnamakan Islam, seharusnya perilaku mereka tidak menyimpang dari Muhammad dan kitab yang dibawanya. Sebagaimana yang telah diwahyukan bahwa Muhammadlah sebaik-baiknya suri tauladan.

Diriwayatkan bahwasannya beliau –Muhammad – tidak pernah memusuhi siapapun. Bahkan  beliau senantiasa menyuapi seorang kakek buta di pasar, meskipun kakek buta itu senantiasa memaki dirinya. Ya, kembali lagi, jika memang Al-quran dan Muhammad yang dianut maka tidak akan terjadi tindak kriminalitas. Selain itu, sudah mutlak bahwa, masuk Islam itu dengan selamat dan aman.

Bagaiamanapun tindakan teror semacam bom-bom di Surabaya itu tidak dibenarkan, meskipun mereka berteriak kafir pada sasaran yang akan dijadikan target pengeboman. Sebab jika menelaah pengertian kafir kembali, setidaknya, ada dua macam pengertian dari kafir: Kafir Harbi, kafir yang memusuhi islam dan boleh diperangi. Yang kedua, Kafir Dzimmi, kafir yang tidak memusuhi islam, dan tunduk kepada negara khilafah sebagai warga negara, meskipun tetap pada keyakinan yang mereka anut. Kemudian, akan timbul satu pertanyaan, apakah golongan yang tidak sejalan dengan golongan mereka adalah kafir harbi, dan siapakah yang kafir sebenarnya?

Sejujurnya, saya tidak butuh jawaban atas pertanyaan yang saya lontarkan, pun tidak menuntut agar sepemikiran dengan saya, apalagi anda membuat asumsi yang tidak-tidak. Namun, jika memang kasus yang tengah trending ini murni atas nama ‘agama’, lalu kemana mereka saat ulama diintimidasi, cadar dikekang, Tidakkah yang dilakukan hanya akan mencemarkan nama agamanaya? Perlu dikaji ulang.

Dan rebut-ribut tentang RUU terorisme yang katanya menjadi salah satu sebab teror. Jujur, saya sempat berpikiran buruk terkait RUU tersebut yang sempat tertunda karena belum ada deskripsi yang pasti tentang teroris itu seperti apa. Seperti yang dikatakan ketua DPR, Bambang Soesatyo baru-baru ini, bahwa kendala disahkannya Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris, revisi Undang-undang No 15 Tahun 2003 karena belum ada deskripsi tentang teroris dan tujuannya.

Dari sana, pikir buruk saya seperti ini, pemerintah sengaja membuat momentum agar RUU tersebut segera disahkan. Ya, semoga saja nantinya negara ini tidak lari ke sekulerisme.

Lagi pula, saya yakin orang-orang di atas lebih mengetahui dari yang kita ketahui. Sayangnya, mereka lebih sering menyembunyikan informasi untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun hal seperti itu terkadang perlu dilakukan jika untuk kemaslahatan bersama.

Adapun terkait solusi yang sering kita dengar untuk menjaga perdamaian, menjaga kerukunan, menghargai perbedaan, dan bla-bla yang lain, saya rasa cukup mudah, untuk diucapkan saja. Namun, upaya untuk mendapatkan semua itu tidak pernah kita rasakan bersama. Tentunya, untuk permasalahan seperti ini saya menyalahkan pemerintah, toh, mereka yang memiliki kuasa penuh berjalannya negara. Tidak masalah saya dikatakan orang yang bisa menyalahkan saja, kenapa memang kalau saya suka menyalahkan pemerintah?

Meskipun begitu, saya juga menawarkan satu saran, yaitu menjadi pribadi-pribadi yang egois. Egois yang saya maksud di sini yaitu menguatkan apa yang kita yakini, jika menyakini sebuah paham agama, maka perkuatlah dengan menambah keyakinan dengan niat semata untuk beribadah. Saya yakin jika semua menerapkan hal ini, maka perubahan akan dimulai dari diri sendiri. Selanjutnya, kebersamaan akan mengikuti. Logikanya, hanya orang ngawur yang mengharapkan kebersamaan sedang dirinya sendiri masih jauh dari kata baik.

Terakhir, jika pelaku pengeboman adalah golongan yang didoktrin siap mati untuk golongannya, lalu kenapa pemerintah tidak mampu membuat warga negara fanatik kepada negaranya? (Tim/Juk)