Judul Buku : The Arabian Nights
Penulis : Husain Haddawi
Penyunting : Muhsin Mahdi
Terbit pertama : New York, 1990
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Qanita, Cet. 2016
Tidak ada penulis yang akan bebas dari kematian
Tetapi apa yang ditulis tangannya akan disimpan masa
Maka jangan menulis apapun di atas kertas, kecuali
Apa yang kau inginkan terbaca di Hari Kiamat
Dikisahkan hiduplah dua raja bersaudara yang
memerintah di kerajaan yang berbeda. Raja yang tua bernama Syahrazar, sedangkan
adiknya bernama Syahzaman. Suatu waktu, Syahrazar merindukan adiknya, sehingga
mengutus wazirnya untuk mengundang Syahzaman mendatangi kerajaannya. Mendengar
kedatangan wazir dari kerajaan kakaknya, Raja Sayahzaman mendirikan kemah di luar
istana untuk menjamu wazir itu. Setelah bertemu, wazir kerajaan Raja Syahrazar
mengutarakan maksud kedatangannya.
Dengan diterimanya undangan itu, Syahzaman pada malam
hari sebelum pemberangkatan menyempatkan menuju istana untuk ber-pamitan pada
istrinya. Namun, dilihatnya sang istri justru sedang tidur dengan juru masak
istana. Melihat kejadian itu, Syahzaman naik pi-tam. Ia segera menghunuskan
pedang pada istri sekaligus juru masak, dan membuang jasad keduanya ke parit di
luar istana. Rasa sakit hati akibat kejadian membuatnya bergegas berangkat menuju
kerajaan Syahrazar.
Sesampainya di istana, Raja Syahrazar segera berajak
menerima mereka dan menuguhi Syahzaman dengan penuh kemewahan. Namun, Syahzaman
selalu teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. Dalam kesedihannya, dia
kehilangan selera makan, bertambah pucat, dan kesehatannya terganggu.
Syahrazar bingung dan berpikir menyiapkan hadiah yang
mendatangkan kebaikan dan menyuruhnya pulang. Sebulan penuh ia siap-kan hadiah
untuk adiknya dan berniat mengajak berburu untuk beberapa hari. Namun,
Syahzaman dengan lembut dan menolak, sehingga Syahrazar menganggap adiknya
sudah begitu merindukan kerajaannya. Karena tidak ingin memaksa, akhirnya Syahrazar
bersama semua pengawal istana menuju hutan untuk berburu.
Syahzaman kini tinggal sendiri dalam sebuah kamar di
istana. Sesaat kemudian dia melihat istri kakaknya berjalan bersama dua pu-luh
gadis budak. Namun dari dua puluh gadis budak tersebut, setengah darinya adalah
budak laki-laki yang menyamar. Mengira semua laki-laki istana sedang berburu,
istri Syahrazar memanggil seorang budak yang bersembunyi dan melakukan
perzinaan beserta para bu-daknya.
Melihat kejadian tersebut, Syahzaman merasa sebagai
bukan satu-satunya orang yang sudah dihianati seorang yang ia cintai. Meski
kakaknya adalah penguasa dunia, ternyata tak mampu untuk menjaga hartanya
sendiri. Kesedihannya pun hilang, tetapi ia tidak secara langsung mengungkapkan
kejadian itu pada kakaknya. Mendengar hal tersebut, Syahrazar ingin membuktikan
dengan pergi berburu dan kembali ke istana sesaat guna memastikan keberadaan
istrinya. Dilihatlah kejadian yang sama seperti yang diceritakan Syahzaman
sebelumnya.
Dengan semua yang telah terjadi, Syahrazar
mengumpulkan pejabat istana. Ia meminta wazirnya untuk memanggil istrinya. Syahra-zar
mengacungkan pedang membunuh istri beserta para budak yang telah berkhianat dan
menggatinya dengan yang lain. Kemudian dia bersumpah menikah hanya untuk
semalam dan membunuh istrinya di pagi hari.
Kisah-kisah
ini adalah kisah yang aneh dan mengagumkan, yang, jika dapat dilukiskan akan
menjadi suatu pelajaran bagi mereka yang mencari kearifan.
Kisah 1001 Malam mengisahkan Raja Syahrazar dan istri terakhirna yang
bernama Syahrazad. Kisah-kisah yang ada mencoba menceritakan kehidupan manusia
dan keberadaan hal-hal supranatural. Semua cerita tentang hal supranatural
dibubah menjadi hal natural sehingga sepertinya nyata adanya. Manusia hidup
berdampingan dengan jin, bersahabat, juga bertarung dalam bentuk sihir serupa
bentuk hewan atau api. Di tengah kisah dipadukan dengan syair, puisi, dan
sitiran lain yang menjadi ciri khas kehidupan sastra zaman kerajaan Timur
Tengah.
Banyak penulis yang telah menuliskan kisah-kisah tentang 1001 Malam.
Namun, banyaknya karya yang ada adalah hasil modifikasi penulis juga tambahan
untuk melengkapi naskah. Selain menggenapkan nasah sesuai sebutan cerita,
banyak penulis menrubah kisah-kisah yang ada hingga membedakan versi satu
dengan lainnya.
Buku ini mencoba menyesuaikan penulisan kisah berdasar pada naskah yang
ada di Suriah. Terjemahan mengikuti apa yang dituliskan dalam naskah, sehingga
gaya sastra selayaknya zaman tersebut. Dengan demikian, bila diterjemahkan
syair yang ada akan berbeda sajak meski diusahakan pada makna yang sama.
Diresensi oleh : Tri Samsudin Marjuki
Anggota UKM-FH Voice of Law