Bumi Manusia

Bumi Manusia

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 27 Mei 2017

Judul Novel          : Bumi Manusia
Penulis                  : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                 : Lentera Dipantara, Jakarta Timur
Isi                          : 535 halaman
Tahun Terbit          : 2011 cetakan ke-17

“Hidup bisa memberi segala hal pada setiap orang yang tahu dan pandai menerima.” (Pramoedya Ananta Toer)

Bumi manusia, buku pertama dari “Tetralogi Pulau Buru”. Menceritakan perjalanan seorang anak manusia berdarah pribumi dengan seluk beluk Eropa, Minke. Kisah  yang bermula dari dunia pendidikan di sekolah HBS, sekolah bagi kaum totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), atau si pribumi yang berkedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi. Dulu nama marga dianggap suatu hal yang sangat penting bagi kaum Eropa.

Dalam ukuran kaum pribumi, Minke dapat dikatakan sebagai seorang yang sangat maju bahkan kemampuan membaca dan menulisnya dalam Bahasa Belanda melebihi orang Totok. Hingga suatu ketika bersama seorang teman ia menuju rumah mewah. Di sanalah tinggal seorang wanita pribumi, namun tutur kata, tingkah laku, dan kepandaian seperti wanita Eropa.  Dialah Nyai Ontosoroh, seorang ‘Nyai’ yang dianggap rendah, gundik, wanita simpanan orang Eropa yang tidak dinikahi secara resmi.

Minke datang ke sana lalu berkenalan dengan anak gadis Nyai Ontosoroh, seorang gadis yang sangat cantik laiknya ratu. Kedatangan Minke mendapat dukungan dari Nyai Ontosoroh sebab Minke dirasa sebagai anak muda yang dapat dipercaya, akhirnya, Minke diminta untuk tinggal bersama mereka, hingga Minke jatuh cinta dan masuk  menuju dunia pyloghinik sang ratu, Annelies Mellema. Di sisi lain, Annelies, ‘gadis bayi’ lemah dalam perihal cinta, bergantung dengan seseorang yang ia cintai.
mamun memiliki ketangguhan dalam bekerja.

Perjuangan luar biasa dilakukan Minke untuk mendapatkan Annelies, banyak rintangan tapi berhasil ditaklukkan, bersama guru pribadi, Nyai Ontosoroh yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Suatu ketika surat dari Pengadilan Putih membawa sang isteri menuju negeri jauh, entah sampai kapan atau bahkan selamanya.

Di dunia pendidikannya, Minke dididik dengan cara berpikir orang modern yang paham akan kesetaraan sosial. Ia menentang perbudakan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Ia menyuarakan ketidakpuasan atas permasalahan tersebut dengan menulis di surat kabar berbahasa belanda dengan menggunakan nama samaran, Max Tollenar. Akibat dari tulisan itu juga disebutkan Pram yang mana, sebuah tulisan dapat melahirkan kerusuhan.

Novel ini ditulis saat Pram masih berada di Pulau Buru sekitar tahun 1975. Cerita ini berlatar Wonokromo, Surabaya, dan beberapa kota lain di Jawa Timur. Menggambarkan keadaan  Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan Nasional.

Tiap peristiwa disampaikan melalui deskripsi, tetapi ada beberapa yang dijelaskan secara langsung dari sang tokoh. Banyak tokoh-tokoh yang terlibat, pembaca harus memahami masing-masing karakter tokoh, nama-nama yang hampir mirip sehingga rawan kesalahpahaman.

Setelah edisi pertama, ada rasa ingin segera melanjutkan buku kedua. Bahasa yang sederhana namun tidak membosankan serta alur yang digunakan mampu membuat pembaca untuk mengikuti jalan cerita. Banyak hal yang dipelajari dari buku ini, kepribadian bangsa berkulit putih, sebuah perjuangan, banyak kisah sejarah, layak dibaca semua kalangan, perjuangan yang tidak kenal lelah, melawanlah meski melalui lisan.


“Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat dibumi ini”.

Diresensi oleh : Idatus Sholihah
Anggota magang LPM-SM