Membangun Jembatan Toleransi di UTM

Membangun Jembatan Toleransi di UTM

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 09 April 2016
Pemateri sedang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an berkaitan dengan toleransi
WKUTM- ”Biarlah kita sebagai mahasiswa menjadi agen perubahan dengan memulai dari lingkungan yang kecil. Karena saya yakin Indonesia akan menjadi negara besar bertoleransi tinggi.” Pernyataan tersebut di ungkapkan oleh Alvandri Yortan W, ketua pelaksana seminar ”A Common Word” Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UK3), pada Sabtu (9/4), di Gedung Cakra Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Seminar bertema ”Mencintai Perbedaan, Menjunjung Perdamaian” tersebut bagian dari perayaan Dies Natalis UK3 yang ke 14 yang bekerja sama dengan LDK MKMI dan UKM Ihfadz. Menurut ketua pelaksana acara, pemilihan tema berkaitan dengan semangat mengimplemantasikan semboyan keberagaman ”Bhineka Tunggal Ika.” Harapan seminar ini ialah membuka dialog antara Islam dan Kristen.

Menteri Agama Badan Eksekutif Mahasiswa Kabinet Nusantara (BEM KN), Moh Qashdi pada awal acara sempat mengingatkan kepada pemateri agar berhati-hati dalam menyampaikan pembahasan. Moh Qashdi mendapatkan informasi beberapa hari sebelum pelaksanaan acara adanya laporan isu-isu mengkhawatirkan soal tuduhan jika seminar ini memiliki agenda pluralisme. ”Memang masalah akidah tidak ada toleransi, tetapi kalau sesama untuk mendukung itu tidak masalah,” ujarnya ketika ditemui usai acara.

Riyanto, selaku perwakilan Wakil Rektor III (Warek 3) yang tidak hadir, mengungkapkan saat ini kita masih perlu nilai-nilai positif dalam memandang keberagaman umat beragama supaya toleransi mudah terbangun. ”kita jangan pernah ‘mengerjai’ sesama, tetapi mari bekerja bersama,” kata mahasiswa yang menjabat sekretaris BEM KN.

Pembicara dari pihak Kristen, Iman Pasu Purba mengawali materi dengan penjelasan konsep ketuhanan dalam perspektif Kristen. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menjawab persepsi peserta seminar beragama non-Kristen terhadap agama Kristen. Namun, perbedaan akidah tidak boleh menghalangi sikap saling menjaga perdamaian sesama manusia. ”Mari mengasihi tanpa syarat, tanpa memandang sekat suku, ras, dan agama,” ujar Dosen Hukum Unesa tersebut.

Nasruddin, pembicara perwakilan Islam, menuturkan kalau seminar seperti ini sangat bermanfaat dalam memberi wawasan keagamaan di lingkungan akademik. Nasruddin berpendapat selama ini akar kebencian kelompok yang mengatasnamakan agama ialah ketidakpahaman terhadap agama yang dianut. Ia juga menyoroti persoalan lain, yaitu seringkali kita terjebak pada teks kebahasaan sebuah ayat tanpa melihat situasi dan mengkaji lebih dalam lagi. ”ketika membaca satu ayat jangan langsung dianggap sebagai kebenaran mutlak, karena masih akan ada kebenaran-kebenaran dari ayat lain,” ungkap dosen Perbandingan Agama UIN Sunal Ampel Surabaya.

Atul, Salah satu peserta seminar merasa menemukan pemahaman baru tentang agama Kristen. Seperti adanya beberapa persamaan antara Islam dan Kristen, salah satunya dalam menyebut Allah. Hanya saja pemahaman terhadap agama lain tidak dilandasi niat untuk pindah agama, malainkan sebatas pengetahuan serta penambah rasa syukur atas berkah keimanan dimiliki sekarang. ”Kita harus bersikap dewasa dan tidak langsung melakukan justifikasi terhadap ajaran agama lain. Contohnya, seperti konsep trinitas yang saya pahami dulu dan penjelasan tadi ternyata berbeda,” ungkap mahasiswi asal Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan itu.(KAK)