tak perlu takut pada getah tahun
ia hanya perekat yang dicipratkan
pada pisau dapur agar bulan robek tertikam
dan cahayanya bocor memenuhi telaga
malam akan jadi secantik dan secerdik kau
melarung cinta kita usai pasar malam
(2015)
mawar
merah
kuhadiahkan padamu seikat mawar
merah. menyala seperti celana dalammu;
seperti kemarahanku hingga aku terburu-buru
meninggalkanmu menangis
sendirian
(2015)
kotak
cahaya
di depan kotak cahaya itu
warna-warna berpendar
dari kota yang diasingkan
ke sungai mampet
mengalir. melambat ke wajah pucat
tak berpenghuni
menjelang malam:
dongeng dinyalakan
lagu menyala dendam-sayang
di sebalik kasak-kusuk
diskusi suami-istri
memberkati persetubuhan
cinta tanpa tegur sapa
di kotak cahaya itu
malam jadi lebih panjang
tapi kebahagiaan dipersingkat
lagu bunuh diri, berdentang
jam-jam malam
dari wajah kasar
penghuni pos ronda
dan kamar ngelangut
tanpa liuk seruling
dengkur halus
dijeda seekor nyamuk
dalam kelambu
kotak itu, cahaya itu
melahirkan suami-istri yang lain
aurat kota-kota besar
dalam rencana petualangan
yang ingin mereka lewati
dengan membayangkan
sepasang kaki dan sirip tumbuh
memisahkan:
siapa yang akan ke terminal?
siapa yang akan ke dermaga?
(2015)
suatu
ketika, rindu
engkau rindu hutan
cinta yang hijau
dan keperakan
embun jatuh ke tanah
ke daun, percik-percik
adalah air matamu
dari masa lalu, dari rasa
cemas
berdengung dan terbang
ke langit
menyigi matahari
nikmati hijau
raut nelangsa dan
ngelangut
hanya cintamu yang bening
sekokoh batang coklat
semerdu siul buhul
denting klenengan
mengantar ning
kuda-kuda pengangkut jati,
pengangkut damar
pergi melambai,
untuk luka dan nelangsa
meniup rambutmu-rambutku
oh, suwung sunyi
mengemas luka
kerinduan nyala api yang
pecah
ke gelap malam
istirah saat jendela
terbuka. saat itu
apa kau jawab salam hutan?
(2015)
kepergian
laut
laut tak pernah ke langit
ia mencintaiku
menyimpan rindu
saat gerimis kemalaman
tak ada puisi dibuat
sebab, sulur-sulur ombak
menelusup dalam ranjang
menenun ingatan ke percik
mimpi
“laut-kekasih tak ingin
pulang. Tidurlah,” kata ibu
tapi asin terus berkabar
surat cinta laut
sampai kemana?
ia tak berdebur di mataku
dan kafe musik pinggir
pantai;
lagu bernada minor, pasir
daun nyiur tanggal
adalah peta ke jantungmu
ke jantung musim
yang mengungsi di
sela-sela dapur;
kampung nelayan yang
pernah kau sapa
(tapi kulupakan)
laut, ikan jerung kah
kekasihmu?
sakit sekali, sayang
saat nelayan mulai terjaga
lengking tangis bayi,
gemeletak api
menandai jarak: aku, laut,
dan tangis
membadai di tubuhmu hingga
sore tiba
tapi laut tak pernah
kembali
(2015)
gambar
eropa
kau menghindari matahari dan teror
lagu-lagu asing dan bersembunyi dalam gambar
potret yang menangkap eropa
memenjarakan paris dengan gaun hitam, pesta
lihat itu, kota tua dengan arsitektur
lingga-yoni
di atapnya yang mengacung menantangmu
sambil tersenyum, kau bayangkan menjemput anak
sepulang sekolah. lalu mampir ke salon agar
eropa mendekat
australis, dimana dingin bersalju yang tak
menerbitkan
hasrat bercinta? membeli pancake sembari
menenggak rum
tapi semua itu nyata setelah kau berlari dari
matahari
setelah gambar-gambar menelanjangimu
menemukanmu dengan seorang pria kurus
menghangatkan jaket tebalmu dengan chesnut
panggang
dan itu tidak di sini, bukan?
di tempat bau matahari dan cemburu
sedang kau rindu salju. rindu berlari (sekali
lagi)
pada paris dengan gaun hitam legam.
(2015)
mimpi buruk
nenek
mimpi buruk selalu berwarna merah marun?
nenekku gelisah menemukan ibuku: dalam tidur
putih, cahaya,
daun koro, kediaman, dan tamu yang tak jelas
bentuknya
ibu merasa akan mati, sementara aku merasa
akan membunuh ibu
dengan tandatangan palsu. menghidupkan cerita
babi gendut
dan pelacurnya. kejahatan yang membunyikan
drum kosong,
pabrik kengerian tanpa ilmu dan ijasah dari
rumah-rumah gila
penuh tikus. aku pernah membongkar bangkai
tikus di bawah kasur
dendam tikus merubah jemariku menjadi ular air
mengintai dan menunggu aku lengah
mengapa mimpi selalu berwarna merah marun?
kalau para tikus mencariku, katakan:
aku sedang mengasah parang dan membuat api
(2015)
Citra D. Vresti Trisna,
lahir di Surabaya. Puisinya terangkum dalam beberapa antologi bersama. Cerpen, kolom, esainya dimuat di beberapa Surat Kabar lokal maupun nasional.
(Puisi Ini Di Muat Di Buletin Sastra Kecubung Edisi Ke 3)
lahir di Surabaya. Puisinya terangkum dalam beberapa antologi bersama. Cerpen, kolom, esainya dimuat di beberapa Surat Kabar lokal maupun nasional.
(Puisi Ini Di Muat Di Buletin Sastra Kecubung Edisi Ke 3)