Indonesia Negara Kerdil

Indonesia Negara Kerdil

LPM Spirit - Mahasiswa
Sabtu, 29 Agustus 2015
Oleh : Rinda Fitary Ningsih

Bagiku Indonesia bukan negara dan bangsa yang kecil, tapi kerdil. Kalau kecil, ada kemungkinan untuk menjadi besar. Kalau kerdil, selamanya tetap kecil, tidak berkembang, tidak maju, dan bahkan malah berkurang. Dulu, Indonesia masih memiliki 17.508 pulau, sekarang berkurang dua, itu namanya kerdil. 
Mungkin bahasa narsisnya bangsa kita terlalu dermawan. Dua pulau yang menyimpan banyak hasil alam disumbangkan secara cuma-cuma pada Negara tetangga. Dermawan sekali bukan? Bangsa yang kerdil itu bangsa yang dengan gagah nya bilang melalui mulut dan hati bahwa Freeport itu bukan bentuk penjajahan. Nggak ada yang salah sama Freeport. 

Freeport itu perusahaan publik. Siapa saja boleh menanamkan atau mempunyai sahamnya, dan yang menanamkan atau mempunyai saham itulah yang dapat untung. Ia juga berpendapat bahwa minyak bukanlah hak suatu negara, melainkan hak dunia. Kalau Indonesia nggak bisa kelola ya salah sendiri kenapa memilih menjadi bangsa yang kerdil? Bangsa yang kerdil itu bangsa yang benci sama Amerika dan antek-anteknya, tapi minuman favoritnya Coca-Cola. Nggak keren kalau rokoknya bukan Marlboro, suka update Path at MCdonald dan upload foto duduk sama badut dengan tulisan I'm lovin it. Bangsa yang kerdil itu adalah bangsa yang membela demokrasi sampai emosional dan menganggap seolah semua yang bukan demokrasi adalah setan. Rakyatnya gila sama demokrasi seperti gila pada batu akik, bahkan yakin pada Demokrasi seperti yakin kepada Tuhan. Demokrasi itu melandaskan kebenaran pada benarnya orang banyak. 

Semakin banyak orang semakin kebenaran itu kuat. Padahal, orang banyak belum tentu benar. Dalam sistem pemerintahan monarkhi, yang bisa menjadi pemimpin adalah yang memiliki darah biru. Dalam Demokrasi, yang bisa jadi pemimpin adalah orang kaya yang menguasai stasiun televisi. Demokrasi mengansumsikan bahwa semua orang itu sama. Padahal semua orang itu berbeda. Bila Kaprodi Ilmu komunikasi, Bapak Surokim, berkata pada mahasiswanya: kamu lebih baik mati saja kalau tak bergetar hatimu mendengar kata Universitas Trunojoyo Madura. 

Maka ingin aku katakana: kamu mati saja kalau bergetar hatimu mendengar kata Jepang, Singapura, dan Korea Selatan daripada Indonesia. Kenapa harus bergetar hatimu mendengar kata Jepang, yang menggantungkan kehidupannya pada seluruh masyarakat indonesia untuk membeli produk berupa kendaraan bermotornya? Andai kita mogok beli kendaraan bermotor buatan Jepang, aku yakin Jepang pasti kelimpungan nggombalin kita supaya nggak mogok lagi. Masalahnya, bisakah kita mogok beli kendaraan bermotornya Jepang? Ngapain lagi kita terkesima sama Singapura, yang di peta dunia saja tanahnya hampir tidak kelihatan. Dimana kebesaran Singapura? Kalau bagimu kebesaran bangsa Singapura terletak pada negara dan masyarakatnya yang bersih dari korupsi, tidakkah kau lihat selama ini negara mana sebagai penampung dan pemorot koruptor dari luar negeri, termasuk Indonesia kalau bukan Singapura? Kalau bukan bangsa yang kerdil, dengan demikian tak akan mengagung-agungkan Singapura ketika mengeluh soal betapa banyak kasus korupsi di Indonesia, sebab tahu siapa penadahnya. 

Bagi pengagum negara dan bangsa Korea Selatan hendaknya perlu berpikir ulang mengapa Korea Selatan lebih menggetarkan hati daripada Indonesia, padahal kenyataannya Korea Selatan adalah negara dengan rasa bersyukur paling rendah. Korea selatan itu negara yang masyarakat nya paling nggak bisa menerima kehendak Tuhan. Tapi kan korea selatan itu negara maju di bidang pembangunan, industri, teknologi, dan pendidikan? Ah iya, Korea Selatan baru menggetarkan hatiku kalau dia bisa bikin candi yang lebih besar dari Borobudur dan lebih tinggi dari Prambanan dengan batu kali dan semen putih telur. 

Kalau saja kita sedikit berbangga dengan negeri kita sendiri, harapan untuk menjadi besar rasanya masih mungkin kita dapatkan!