Senja di Tanah Perang

Senja di Tanah Perang

LPM Spirit - Mahasiswa
Selasa, 06 Mei 2014

Oleh : Riris 
 
Aku harap bangsa ini melahirkan bayi-bayi cacat yang bersahaja. Semoga makin berlimpah jumlah bayi-bayi yang terlahir buta, tuli, bisu, atau cacat kaki dan mentalnya,
Petang sudah menjelang. Senja yang hampir berpendar diserbu gelap kulihat mampir terlebih dahulu ke dalam bola matamu. Menampakkan sekelebat cahaya jingga keemasan yang teduh. Aku tahu, ada yang kau sembunyikan dibalik mata itu. Pasti ada sesuatu yang telah membenamkan mata elangmu. Mata itu kini berubah menjadi tatapan kosong. Tak ada sesuatu makna kutangkap di dalamnya. Hanya ada senja!
Sesekali aku termenung, sekaligus juga bingung. Aku memang tak pandai membaca simbol selain huruf-huruf dalam tulisan. Satu yang kutahu tentang bahasa nonverbal, jika sewaktu-waktu kentongan yang digantung di poskamling desa diketuk berturut-turut sampai jumlah tak terhingga, itu tandanya ada ancaman dari desa seberang. Kata orang-orang, penduduk luar menyerang desa kami dengan membawa alat-alat perang. Mereka bakal menyakiti siapa pun yang berkeliaran di desa kami. Aku tidak tahu kenapa mesti desaku yang menjadi sasaran. Ada yang pernah bilang, serangan itu adalah lanjutan perang para bebuyutan kami yang dulu-dulu. Awalnya karena iri menginginkan kekayaan alam yang melimpah di desa kami. Lama-lama masalah agama, ras, suku, semuanya dibawa-bawa.
 Itulah mengapa ada peraturan di desaku yang mengharuskan siapa pun laki-laki wajib ikut berperang. Sejak masih bayi, anak laki-laki dipisahkan dari ibunya, lalu dirawat dan diajari berperang oleh bapaknya. Sementara aku dikecualikan dari kewajiban itu. Aku terlahir dengan fisik yang berbeda dari orang kebanyakan. Kakiku yang bengkong, kurus dan kecil, membuatku tidak leluasa untuk bergerak. Aku hanya jadi benalu jika masuk dalam pasukan perang. Karena itulah aku bersama ibuku diungsikan di tempat ini. Tempat yang mempertemukan aku denganmu.
***
“Selamanya kita terus terkungkung penjajahan jika kita hanya diam. Sekarang lihatlah, teknologi-teknologi modern memperbudak bangsa kita. Jangan berpikir negeri kita sudah merdeka lalu kita berleha-leha. Lihat, aset negara kita siapa yang menguasai kalau bukan negara asing? Kita berpikir domestik saja, desa kita ini sudah mulai gaya-gayaan sekarang. Anak muda maunya jadi buruh pabrik di kota-kota. Pakaiannya rapi dan bersepatu. Tidak ada yang mau menengok padi di sawah keluarganya. Gengsi katanya. Lah sekarang omongannya krisis pangan larinya impor beras ke luar negeri. Memang sudah gila jaman ini,” aku berkipas-kipas dengan selembaran kertas yang berisi materi presentasi. Aula di balai desa belum dipasang kipas angin atau AC, dua jam memberi penyuluhan pada anggota karang taruna di ruangan ini membuat peluhku bercucuran.
“Baik, siapa yang mau bertanya lagi?” aku menawarkan ruang diskusi yang ketiga. Anggota karang taruna di desa kelahiranku ini memang sangat antusias dengan acara yang digagas pak lurah. Kulihat hampir tiga perempat audiens mengacungkan tangannya. Sosialisasi bertema sistem pertanian organik ini ternyata menimbulkan tanda tanya besar dalam benak mereka. Padahal aku sempat tidak percaya diri karena harus mengisi materi sambil duduk di atas kursi roda.
Ini pertama kalinya aku berdiri di depan pemuda-pemudi di desaku. Biasanya aku menghadapi mahasiswa dari fakultas pertanian untuk berbicara seputar pertanian. Tapi sekarang aku dipertemukan dengan anak-anak yang rata-rata pendidikannya terputus di bangku SMP. Aku khawatir cara presentasiku dinilai membosankan karena kebanyakan teori. Tapi sebenarnya ada yang membuatku lebih khawatir selain hal itu. Aku melihatmu duduk di bangku audiens paling depan. Aku takut jika kata-kata yang kuucapkan membuatmu kecewa.
Aku menunjuk salah seorang pemuda berkacamata. Dia kemudian berdiri dan membenarkan posisi kaca matanya. “Terimakasih atas waktu yang diberikan kepada saya untuk bertanya. Menurut bapak bagaimana dengan pemuda yang merantau ke luar daerah? Bukankah pengalaman kita akan bertambah dengan cara itu?” tanyanya. Sontak hampir semua sorot mata mengepung pemuda itu. Dia kelihatan kikuk, cepat-cepat dia segera duduk kembali di kursinya.
“Bagus sekali pertanyaanmu mas, jadi begini, saya tidak melarang adik-adik semua ini merantau ke luar daerah. Ke Surabaya, Bandung, Jakarta, bahkan ke luar negeri. Tapi ingatlah, kalian mempunyai rumah untuk kembali. Kalian mempunyai tanggungjawab untuk berbagi ilmu dengan saudara-saudari di rumah kalian, di desa kalian ini. Kekayaan alam yang melimpah di desa kita ini jangan ditelantarkan karena terus-terusan mengurusi pabrik di kota. Sayang kalau nggak ada yang ngurus. Desa-desa seberang di jaman kanak-kanak saya saja dulu rebutan ingin tinggal disini. Sampai perang bertahun-tahun dijabani. Tidak ada anak-anak muda yang duduk santai seperti kalian sekarang. Semuanya ikut perang, nggak ada yang diam-diam ngobrol santai sama keluarganya. Anak lelaki dan ibunya dipisah, suami istri juga dipisah, tahu-tahu ada kabar duka yang tak jelas asal-usulnya. Jangan sampai peristiwa itu terjadi pada kalian. Jadilah kalian generasi yang mencintai budayamu sendiri,” jawabku sambil tak mau berpaling dari tatapanmu. Gema tepuk tangan dari audiens tidak mengalihkan pandanganku dari mata itu. Kau hendak menangis, aku tahu itu.
***
TOK... TOK... TOK.. TOK....
Suara kentongan memekik seluruh warga desa. Lamunanku dipangkas tepat saat imajiku melihatmu menangis. Ternyata pipimu benar-benar dibasahi air mata. Kau yang mengajariku baca-tulis, kau yang mengajakku bermain, kau juga yang menemani kesendirianku selama perang, saat ini bersama aku dan anak-anak perempuan masih perlu berdiam di tempat pengungsian ini. Kabar duka kematian ibumu yang kau tinggal di rumah nyatanya tak mau berkompromi dengan niat baikmu menjadi relawan. 
Mungkin lebih baik semua orang terlahir cacat agar tak mampu berperang sepertiku. Agar perang segera usai, agar bapak menjaga kembali rumah dan keluarganya, agar gerbang-gerbang sekolah dibuka dan tak perlu rumah darurat untuk belajar, dan agar orang baik sepertimu tidak menangisi kebaikannya. Aku harap ada seorang terpelajar menghentikan perang ini. Aku hanya menitip harapan pada mereka yang duduk di bangku pendidikan untuk membantu desa kami. Membantu agar tanah tercinta kami tak lagi-lagi diserang hanya dikarenakan menginginkan hasil alam di desa kami.
Langit pun menggelap, tidak kulihat ada rona kemerahan yang menghiasinya. Senja telah berpulang, tapi sinar yang merangkul bola matamu tak juga menghilang...