Oleh :Katin
Tepat pukul
09.15 aku teringat sesuatu akan mimpi ku. Aku pun bergegas memasuki kamar mandi
dan menyegarkan badan. Betapa menggugahnya hari ini. Tepat diatas kasur yang
panjangnya lebih satu jengkal dari badanku. Aku melirik tas ransel coklat
bertuliskan “ungu” yang artinya sipemilik adalah penggemar band ungu.
Ku raih tas itu
dan perlahan ku buka,”sip,sudah lengkap” cetusku. Ku rasa, aku sudah siap
melangkahkan kaki yang entah akan sampai mana dan dimana tempat yang akan
dituju. Dengan stelan clana jeans dan atasan hem kuning tak lupa jilbab yang
setia menutupi rambut hitamku. Aku mulai melangkahkan kaki ini menuju gerbang
asrama.
Aku akan
menunggu dua saudara baruku, namanya Dian dan Riris. Sosok baru yang rasanya
telah lama ku kenal. 15 menit berjalan, akhirnya kami bertiga sampai ditempat.
Inilah rumah baru kita “sekret” begitu kami menyebutnya. Disini kami akan
belajar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Bukan hanya itu, kami
juga mempunyai tanggung jawab besar untuk kehidupan. Untuk hidup kami, juga
orang-orang disekitar kami.
“assalamu’alaikum.
. . .”, kami mencoba memastikan adakah makhluk didalam sana. Berkali-kali kami
mengucapkan salam tapi pintu ini tetap saja tak bergidik. Kami pun memutuskan
untuk menunggu didepan sekret. Tak lama kemudian, Erna dan Ike datang mereka
juga saudara baru kami. Akhirnya,kami memutuskan untuk menghubungi salah satu
saudara kami. Namanya Aji, satu dari empat laki-laki yang ada diLPM.
“dimana ji. . .
.?” sent to: Aji.
Reply: “depan
gerbang. . .”
Kami berlima
merasa tertipu dengan sms itu.
Setelah sampai
digerbang, sejenak kami merebahkan tubuh untuk melepas lelah. Ternyata semuanya
telah berkumpul disitu, ada ka’ Ilham, ka’ Ginan, Aji, Azis, Hasbi, Ishak, dan
ka’ Dafir. Dan untuk kedua kalinya kami merasa tertipu. Belum lama duduk, kami
sudah diajak balik ke sekret.
Tapi disela-sela
itu, kami tetap melakukan diskusi untuk membahas perjalanan nanti sore. Dan
hasilnya, kami sepakat mengeluarkan uang 50 ribu per-kepala. Lain dengan hasbi, karena sisa uang yang ada
didompetnya tinggal 15 ribu, ya. . itu yang bisa dia bayar. Kami menerimanya
dengan senang hati. Disini kami juga sepakat untuk menjaga satu sama lain. Satu
tidak makan semuanya tidak makan, satu sakit semua juga sakit.
Sekitar pukul
14.00 acara makan-makan pun berlangsung. Sekali lagi inilah kebersamaan, tidak
ada yang tinggi ataupun rendah. Karena hakikatnya semua manusia itu mempunyai
drajat yang sama disisi allah. Hanya saja yang membedakan adalah keimanannya.
Bukan sebuah harta atau tahta.
Namun, terkadang
manusia lupa akan tugas sebenarnya dibumi. Mereka lebih mengejar sebuah jabatan dari pada mengejar kebaikan
untuk saling berbagi. Makan siang pun usai, sebelum berangkat upacara syakral
pun kami lakukan. Berdo’a untuk keselamatan diperjalanan nanti.
Tiba dipertigaan
kami langsung menaiki angkot karena waktu sudah cukup sore. Ada pemandangan
yang membuat ku bertanya-tanya, satu lingkup gedung yang diselimuti rindangnya
rerumputan berdiri lusuh dengan atap dan jendela yang rusak. Sepertinya ada
misteri dibalik kesedihan itu. Aku pun melerai lamunan ku dan mulai menikmati
perjalanan. Jalan madura yang bergelombang dengan tiap sisi jalan terlihat
kesibukan orang-orang. Kendaraan yang hilir mudik satu persatu hingga pohon
yang melambai-lambai diterpa angin. Semuanya terasa menyatu dan melengkapi
panasnya sore ini.
Dari kejauhan
angin laut mulai menyapa kedatangan kami, tidak ada bau yang aneh selain
knalpot angkot yang hitam legam dengan awak badan mulai mengelupas sana sini.
Sedang sang sopir yang sibuk dengan penumpangnya mulai berlari-larian ntuk
berebut rezeki. Satu dua orang sangatlah berarti buat mereka. Terkadang konflik
antara satu sopir dengan sopir lain pun tak terelakkan.
Suara pedagang
yang khas dengan logatnya mondar-mandir menjajahkan dagangannya meski mayoritas
lebih memilih duduk santai nunggu pembeli datang. Sungguh sebuah pemandangan
khas pelabuhan. Didepan sana terlihat kapal yang berjajar acak mengaung
menerjangi ombak lautan. Namun sayang, dari pertama kali aku menjejaki
pelabuhan ini aku kira ni bukanlah lautan. Disepanjang bibir lautan yang aku
jumpai hanyalah warna air yang keruh dengan sedikit hitam bercampur sampah
plastik yang mengenang dipermukaan. Apa yang kami bisa lakukan untuk masalah
ini ?
Lepas dari
masalah itu, kami melanjutkan perjalanan dan menikmati pemandangan
ditengah-tengah lautan. Sesekali goyangan ombak terasa memusingkan kepala.
hampir setengah jam an kami menikmati angin laut yang tenang ini. Kami pun
memasuki pelabuhan perak dan memutuskan untuk sebentar mengistirahatkan raga
kami, untuk membasuh muka lusuh kami dan sekalian shalat ashar.
Hampir mendekati
maghrib rombongan kembali menjejeki jalan yang mulai remang-remang. Bus yang
kami tumpangi berhenti persis dikiri jalan. Aku mulai melihat sebuah kemewahaan ditempat ini. Gedung yang
berjajar tinggi lampu neon yang kerlap-kerlip juga pohon dan bunga yang
menghiasi setiap celah jalan menuju pintu masuk. Semua terkombinasi dengan
teratur.
Dan inilah tugas
kami, ka’ ilham dan ka’ robi menjelaskan apa yang harus kami lakukan didalam
sana. Ya .. di Tunjungan Plaza. Rasanya tidak mungkin dengan gaya seperti ini
kami harus masuk kedalam sana. Minder itu pasti. Tapi untuk apa rasa minder,
kenyataanya tidak ada seorang pun yang memperdulikan kita. Didalam sini, semua
sikap manusia bersatu. Intinya semua berjalan dengan rasa individual.
Langsung saja,
kami masuk dengan kelompok masing-masing. Tugas kami adalah mengamati apa yang
ada didalam. Kami melakukan wawancara dengan berbagai profesi, ada satpam,
penjual, pembeli dan psg. Semua terbilang lancar “masih menurut kami”. Tak
butuh waktu lama kami memutuskan untuk keluar, diperjalan aku sempat
berfikir betapa egoisnya dunia, betapa
munafiknya dunia. Demi sebuah kemewahan, tuntutan modernitas dan perkembangan
zaman yang malah membawa kita
keperadaban yang salah ternyata malah kita bangga-banggakan. Itulah kehidupan
kita sekarang yang seharusnya patut kita ubah.
Setelah semua
kelompok berkumpul, kita semua bergegas meninggalkan kemewahan dibelakang kami.
Sebuah kemewahan ditengah-tengah kota besar. Langkah kaki pun semakin berat,
rasa kantuk dan lelah menghinggapi mata kami. Masih harus menunggu angkot untuk
tujuan dan tugas selanjutnya. Sorot lampu yang ditunggu-tunggu pun datang
dengan sedikit nego akhirnya kami berangkat dengan mata yang “sepet” dipandang.
“fiuh. . .fiuh”
angin dari celah jendela sesekali menghantam wajah. Bau khas bapak angkot bersatu
padu dengan datangya angin. Sehingga bau khas itu terendus kuat dipenciuman.
Tak lama kemudian pak sopir menginjak rem dan roda-roda mobil mulai melaju
pelan hingga akhirnya berhenti. Suasana malam semakin terasa, kala lampu
disekeliling jalan bersinar terang menghiasi aspal hitam dibawahnya.
“Taman Bungkul”
tempat kedua yang akan kami amati. Sebelum itu kami menemui dua senior yang
ajaib dan jenius itu, mereka adalah ka’Devi dan ka’ Citra. Kalau sudah melihat
mereka, nyali pun ciut dan minder banget rasanya.
Setelah
menghabiskan waktu untuk bercengkrama kami pindah tempat diluar lingkaran
taman. Shering dan meluapkan keganjalan hati tentang kunjungan kita di Plaza
tadi. Intinya tidak ada kehidupan yang tidak saling berkaitan, semua yang
terjadi dalam hidup itu relavan. Tapi mayoritas orang menganggap hidup ini
adalah perkembangan zaman. Yang dimana kita harus mengalir mengikutinya tanpa
melihat apakah aliran itu sesuai dengan apa yang kita inginkan dan apa yang
kita mampu.
Dan hal ini juga
yang aku dapat diTaman Bungkul. Sekali lagi perkembangan zaman malah membuat
masyarakat menutup mata dengan realita.
Tepat pukul
22.30 kami menuju tempat ke tiga, karena tempat yang tidak terlalu jauh kaki
memutuskan untuk jalan kaki. Ditemani dengan pemandangan malam yang ramai dan
sapaan angin yang ramah, tak terasa langkah kaki pun terhenti. Stasiun
Wonokromo, sebelumnya nama tempat ini tidaklah asing. Kami pun kembali
berdiskusi ringan, ka’ dafir, ka’ ilham dan ka’ ginan mengingatkan kami untuk
berhati-hati dan tidak bertingkah aneh-aneh. Sebelumnya tidak ada nasehat
sekeras itu, entah sebenarnya tempat apa ini.
Pembentukan kelompok
mulai dilakukan, Azis dan Riris berangkat lebih dulu, kemudian aku dan Aji
disusul Diyan dan Ishak, Hasbi dan Erna dan yang terakhir Ike dan ka’ Ginan.
Pertama, saat langkah kaki mulai menyentuh kerasnya tanah dan telingga yang
tercekoki berita-berita tentang stasiun ini. Langkah kaki ku terasa amat berat.
Jantung berdebar lebih kencang dari biasanya dan tubuh ikut bergetar. Tugas
kami adalah mencari berita tentang stasiun ini dengan cara diam-diam.
Sampai disebuah
warung kopi yang sederhana, aku dan Aji duduk kemudian memesan dua gelas kopi
hangat. Sekali lagi, tubuhku rasanya bergetar, pemandangan yang sangat baru bagiku. Disetiap
sudut jalan para lelaki mondar mandi seakan mengancam kedatangan kami.sesekali
terlihat para wanita yang bergidik dipinggir jalan menawarkan dirinya. Seorang
bapak menghampiri kami dan mengatakan hal yang lagi-lagi membuat aku lemes dan
salah tingkah. Lewat pesan singkat aku mengajak Aji untuk segera pergi dari
tempat ini, meski ada ka’ Novi yang diam-diam mengikuti kami aku tetap tidak
tenang.
Setelah kopi
kami habis, kami segera meninggalkan warung itu. Ditengah jalan kami dikagetkan
dengan dua senior kami. “razia-razia” teriaknya. Refleks kaki ku bergerak cepat
dan lebih cepat. Aku serasa ada diantara hidup dan mati. Akhirnya kami
memutuskan untuk istirahat disebuah warung kopi yang jauh dari tempat tadi.
Disitu kami menghabiskan waktu untuk sedikit menyadarkan diri. Betapa kerasnya
hidup para perempuan-perempuan itu, hidup yang menuntut mereka untuk bekerja
lebih berat dan ada diantara bahaya yang kapan pun dapat datang begitu saja.
Ternyata negara
ini tidak lebih dari sebuah istana yang penuh dengan ketidak bahagiaan. Pincang
dengan aturan dan jauh dari kata makmur. Sebuah kenyataan yang baru ku tau dan
ku pahami. Kami pun melewati malam dipinggiran rel kereta yang tenang. Pagi ini
kami akan menuju tempat yang terakhir yaitu sebuah pasar. Tugas kami masih sama
mngamati dan memahaminya. Dan yang kami dapat tidaklah jauh dari yang pertama
kami dapat, tentang sebuah kehidupan yang sarat akan perjuangan. Dimana tidak
akan ada kata untuk menyalahkan orang lain. Karena sesungguhya mereka juga punya alasan untuk kehidupannya.
Empat tempat
telah kami lewati, ternyata tugas kami belum habis. Setelah dari pasar kami
harus menuju terminal bungurasih. Kami istirahat sebentar untuk makan dan melepas
lelah. Tanpa membuang waktu misi selanjutnya berjalan, kami harus mewawancarai
2pengamen, 2 calo, 2 penumpang dan 2 pedagang. Sayang.. . aku gagal. Padahal
aku dan teman-teman kelompok sudah
mondar-mandir mencari narasumber. Kami pun hanya mendapat informasi sedikit
tentang bungurasih.
Tempat yang
terkenal dengan penipuan, gendam dan perampokkan. Kami pun meninggalkan semua
tentang bungurasih. Dan menuju tempat istirahat di kawasan IAIN Sunan Ampel.
Sebuah rumah yang sempit yang kata kakak LPM adalah sebuah Apartemen buat kita.
Karena badan sudah lelah dan letih tempat apapun jadi.
Malam pun
datang, waktu nya melepas penat dengan
santai minum kopi dan tertawa bersama. Suasana yang sangat sulit untuk ku
dapatkan ternyata ada diorganisasi ini. Akhirnya inilah cerita ku, tentang aku,
saudara baruku dan kakak-kakak LPM-SM, juga LPM-SM sediri. Selama 2 hari 2
malam ada banyak hal yang aku dapatkan terutama tentang kepedulian kita
terhadap hidup orang lain, tentang lingkungan ini, dan tentang negara ini. Kita
adalah pelaku masa depan yang harus membawa perubahan.