Feminisme Dalam Lingkaran Tanda Tanya

Feminisme Dalam Lingkaran Tanda Tanya

LPM Spirit - Mahasiswa
Senin, 24 Februari 2014

Gerakan feminisme di Indonesia pertama kali digaungkan pada masa R.A Kartini memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dan melawan dominasi laki-laki. Akibat dari perjuangan Kartini, berbagai gerakan perempuan mulai bermunculan. Selain itu, gerakan perempuan pada masa Kartini mampu mengilhami gerakan perempuan pada masa kini. Sehingga perempuan masa kini mampu sejajar sebagaimana pria untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, memperoleh hak pilih, melakoni peran sosialnya, termasuk bekerja, berpolitik, hingga terjun sebagai pemimpin di atas laki-laki. 

Stigma yang dianut oleh masyarakat pra perjuangan Kartini hanya menempatkan perempuan di ranah domestik, diantaranya: sebagai ibu rumah tangga yang melayani dan mengurusi keluarga, digantikan oleh perempuan yang mandiri dan tidak bergantung pada pria. Tentu fenomena tersebut menimbulkan pro-kontra yang tiada habisnya. Wanita karir yang seringkali dianggap tidak maksimal dalam menangani urusan keluarga, misalnya dalam kewajibannya mendidik anak, menjadi dasar utama dari lahirnya gerakan feminisme. Dimana tujuan utamanya adalah berupaya untuk menggali potensinya dalam bekerja dan melakukan pembuktian atau eksistensinya di mata pria. Namun realita yang terjadi hari ini tidak seperti yang dicita-citakan gerakan feminisme. 

Karena masih banyak diantara kaum perempuan dari kalangan menengah ke bawah belum menempuh pendidikan layak, apalagi untuk memahami apa itu feminisme. Sampai saat ini mereka tetap terpuruk melawan budaya patriarki. Tak terhitung lagi jumlah kasus pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan laki-lak terhadap perempuan dengan memanfaatkan kelemahan perempuan dari segi fisik dan psikis. Dua fenomena tersebut menunjukkan bahwa feminisme di Indonesia bagaikan dua mata pisau yang berlainan. Pada satu sisi, kaum feminis bergulat dengan dampak positif-negatif yang menjadi konsekwensi logis dari kesetaraan hak. 

Di sisi lain perempuan di luar gerakan feminis terjebak dalam keterbatasan dan kehilangan kesempatan untuk maju sebagaimana pria. Maka, sudah saatnya mengkaji ulang relevansi gerakan feminisme di Indonesia yang terbentur nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kebanyakan dan persoalan kelas-kelas sosial yang mendikotomikan perempuan dalam kelas-kelas sosial. 

Sejalan dengan tujuan tersebut, mengkaji ulang feminisme di Indonesia perlu diawali dari epistimologinya. Jika feminisme yang akan diterapkan berkiblat pada konsepsi yang diterapkan sarjana Barat, maka akan melenceng jauh dari nilai yang dianut oleh masyarakat. Selain itu, konsekwensi lainnya adalah tercerabutnya perempuan Indonesia dari akar kebudayaan. 

Sementara yang perlu dilakukan para feminis sekarang adalah memperjuangkan hak-hak saudara sesama perempuan Indonesia yang belum meraba feminisme. Selain melalui lobi-lobi sosialisasi, motivasi, dan pemberantasan patriarki secara langsung, tapi juga secara aktif menyampaikan masukan-masukan terhadap pemerintah agar bersama-sama mengakhiri patriarki dan kesenjangan sosial. 

Disamping itu, dari masing-masing individu agar secara bijak memelihara hak-hak yang dimilikinya, serta tidak menuntut hak-hak diluar nilai-nilai pancasila. Secara perlahan, dua mata pisau yang menimbulkan lingkaran tanda tanya di atas akan menghilang. Dan sebaliknya, jika tanda tanya tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa jawaban pasti, maka yang pasti adalah lenyapnya feminisme di Indonesia, dan tinggal anggapan-anggapan negatif yang menyertainya.