Topeng

Topeng

LPM Spirit - Mahasiswa
Selasa, 17 September 2013
Oleh : Ghinan Salman

Ketika kebingungan dan tidak ada rokok juga kopi yang biasa menemani saya mendapatkan inspirasi dalam menulis, saya kemudian teringat obrolan santai dengan teman-teman Universitas Spirit Mahasiswa (SM) —meminjam istilah yang biasa dipakai Pakde Dalbo— di halaman sekretariat beberapa jam yang lalu. Pada awalnya kami hanya ingin menghibur diri sambil bernyanyi ria dan tertawa sekencang-kencangnya —maklum, kami ini orang-orang gila dan suka semau gue, jadi tolong dimaafkan. Kalau boleh dihitung, barangkali hampir semua genre musik sudah kami lantunkan: balada, keroncong, blues, rock, pop dan lain-lain.  Beberapa waktu setelah kami semua lepas dalam keriuhan, suasana malam pun berganti lantaran persediaan lagu telah habis dinyanyikan. Satu persatu diantara kami mulai mengoceh, melanjutkan wacana klasik dengan obrolan seputar kenusantaraan, nasionalisme, kolonialisme, konspirasi politik global sampai organisasi mahasiswa. 

Dari obrolan yang agak sedikit ngawur, saya kemudian menemukan angle yang pas dengan suasana hati dan mencoba mengarahkan tulisan saya pada organisasi kemahasiswaan. Kebetulan sekali kampus saya ini sedang kedatangan mahasiswa baru yang “tidak banyak tingkah” dan “terima apa adanya”. Nah, berbicara mengenai organisasi, tentu saja tidak akan lepas dari pengertian, konsep pemikiran dan gagasan yang melatar belakangi. Secara definitif, organisasi adalah sebuah wadah perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang dengan tujuan tertentu dan diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan definisi mahasiswa mengarah pada sekumpulan orang-orang yang mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi. 
Namun, secara implisit organisasi bagi saya adalah sebuah alat atau kendaraan yang mengantarkan orang-orang yang mempunyai kapasitas dalam bidang tertentu, untuk mendapatkan atau menghasilkan sesuatu yang telah menjadi tujuan bersama tadi. Terlepas dari apakah tujuan tersebut baik atau buruk. Kalau di sebuah perguruan tinggi, sejauh yang saya ketahui, ada banyak macam organisasi yang mewarnai kehidupan kampus. Secara umum terdapat organisasi internal dan eksternal. Bedanya, internal bergerak di lingkup kampus, sedangkan eksternal lebih kompleks, karena bergerak ditataran luar kampus (masyarakat). Kedua organisasi ini memiliki bentuk yang beragam. Biasanya, organisasi internal kemahasiswaan lebih kepada minat dan bakat. Sedangkan organisasi eksternal lebih mengacu pada pergerakan —yang katanya— memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ini hanya sebatas pengertiannya saja yang menurut saya benar demikian.
Pada realitanya, organisasi telah mengalami pergeseran makna secara kompleks. Paradigma yang dibangun oleh organisasi-organisasi saat ini hanya sebatas simbolisme dan formalitas semata. Hal ini biasanya sering terjadi pada organisasi eksternal. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa organisasi internal juga demikian. Sebab, mahasiswa yang berada di internal boleh jadi juga anggota di eksternal. Organisasi dimaknai dengan makna sempit dan tidak masuk di logika. Tidak hanya para politisi dan pemegang kebijakan negara saja yang bersikap pragmatis pada arah gerak organisasi saat ini, mahasiswa pun juga demikian. 
Para pelaku dalam suatu organisasi hanya memiliki tujuan untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya demi memperkaya diri untuk kepentingan golongannya. Tidak jauh beda sebenarnya mahasiswa dengan para politisi yang tidak punya otak itu. Selebihnya hanyalah taik kucing dengan segala omong kosongnya. Semakin banyak massa yang dimiliki oleh suatu organisasi, maka lebih leluasa pula organisasi tersebut untuk mendominasi lingkungan yang di huninya. Saya kira tri fungsi mahasiswa yang sering diobral kepada masyarakat adalah kebohongan sejarah yang disepakati bersama untuk menutupi topeng-topeng yang “suka jualan janji”. Bagi saya tri fungsi mahasiswa hanyalah bau busuk yang tidak akan pernah bisa menjadi tolak ukur dalam menilai keabsahan mahasiswa sebagai kaum terpelajar. Hanya mahasiswa yang memiliki kepekaan dan jeli melihat keadaan lingkungannya, mampu merasakan nasib “kaum mbambung” dan juga bersikap adil yang mampu memaknai manusia bernama: mahasiswa. 

Inilah wajah mahasiswa saat ini. Calon pendompleng yang telah masuk daftar tunggu untuk melanjutkan kursi-kursi pemerintahan carut-marut. Hai, mahasiswa.. bukankah pada kekuasaan kalian rela menanggalkan harga diri demi mendapatkan segala yang bukan menjadi hak kalian? Dengan harga diri yang sudah tergadaikan itu, lebih berharga mana kalian dengan binatang manapun di muka bumi?

Seorang terpelajar harus sudah adil
sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan.

Pramoedya Ananta Toer