Ketika
kebingungan dan tidak ada rokok juga kopi yang biasa menemani saya mendapatkan
inspirasi dalam menulis, saya kemudian teringat obrolan santai dengan
teman-teman Universitas Spirit Mahasiswa (SM) —meminjam istilah yang biasa
dipakai Pakde Dalbo— di halaman sekretariat beberapa jam yang lalu. Pada
awalnya kami hanya ingin menghibur diri sambil bernyanyi ria dan tertawa
sekencang-kencangnya —maklum, kami ini orang-orang gila dan suka semau gue, jadi tolong dimaafkan. Kalau boleh
dihitung, barangkali hampir semua genre
musik sudah kami lantunkan: balada, keroncong, blues, rock, pop dan lain-lain. Beberapa waktu setelah kami semua lepas dalam
keriuhan, suasana malam pun berganti lantaran persediaan lagu telah habis
dinyanyikan. Satu persatu diantara kami mulai mengoceh, melanjutkan wacana
klasik dengan obrolan seputar kenusantaraan, nasionalisme, kolonialisme,
konspirasi politik global sampai organisasi mahasiswa.
Dari
obrolan yang agak sedikit ngawur,
saya kemudian menemukan angle yang
pas dengan suasana hati dan mencoba mengarahkan tulisan saya pada organisasi
kemahasiswaan. Kebetulan sekali kampus saya ini sedang kedatangan mahasiswa
baru yang “tidak banyak tingkah” dan “terima apa adanya”. Nah, berbicara
mengenai organisasi, tentu saja tidak akan lepas dari pengertian, konsep
pemikiran dan gagasan yang melatar belakangi. Secara definitif, organisasi
adalah sebuah wadah perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang dengan tujuan
tertentu dan diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan definisi
mahasiswa mengarah pada sekumpulan orang-orang yang mengenyam pendidikan di
sebuah perguruan tinggi.
Namun,
secara implisit organisasi bagi saya adalah sebuah alat atau kendaraan yang
mengantarkan orang-orang yang mempunyai kapasitas dalam bidang tertentu, untuk
mendapatkan atau menghasilkan sesuatu yang telah menjadi tujuan bersama tadi. Terlepas
dari apakah tujuan tersebut baik atau buruk. Kalau di sebuah perguruan tinggi,
sejauh yang saya ketahui, ada banyak macam organisasi yang mewarnai kehidupan
kampus. Secara umum terdapat organisasi internal dan eksternal. Bedanya,
internal bergerak di lingkup kampus, sedangkan eksternal lebih kompleks, karena
bergerak ditataran luar kampus (masyarakat). Kedua organisasi ini memiliki
bentuk yang beragam. Biasanya, organisasi internal kemahasiswaan lebih kepada minat
dan bakat. Sedangkan organisasi eksternal lebih mengacu pada pergerakan —yang
katanya— memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Ini hanya sebatas pengertiannya
saja yang menurut saya benar demikian.
Pada
realitanya, organisasi telah mengalami pergeseran makna secara kompleks.
Paradigma yang dibangun oleh organisasi-organisasi saat ini hanya sebatas
simbolisme dan formalitas semata. Hal ini biasanya sering terjadi pada
organisasi eksternal. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa organisasi internal
juga demikian. Sebab, mahasiswa yang berada di internal boleh jadi juga anggota
di eksternal. Organisasi dimaknai dengan makna sempit dan tidak masuk di logika.
Tidak hanya para politisi dan pemegang kebijakan negara saja yang bersikap
pragmatis pada arah gerak organisasi saat ini, mahasiswa pun juga demikian.
Para
pelaku dalam suatu organisasi hanya memiliki tujuan untuk menjaring massa
sebanyak-banyaknya demi memperkaya diri untuk kepentingan golongannya. Tidak
jauh beda sebenarnya mahasiswa dengan para politisi yang tidak punya otak itu. Selebihnya
hanyalah taik kucing dengan segala
omong kosongnya. Semakin banyak massa yang dimiliki oleh suatu organisasi, maka
lebih leluasa pula organisasi tersebut untuk mendominasi lingkungan yang di
huninya. Saya kira tri fungsi mahasiswa yang sering diobral kepada masyarakat
adalah kebohongan sejarah yang disepakati bersama untuk menutupi topeng-topeng yang
“suka jualan janji”. Bagi saya tri fungsi mahasiswa hanyalah bau busuk yang
tidak akan pernah bisa menjadi tolak ukur dalam menilai keabsahan mahasiswa
sebagai kaum terpelajar. Hanya mahasiswa yang memiliki kepekaan dan jeli
melihat keadaan lingkungannya, mampu merasakan nasib “kaum mbambung” dan juga bersikap adil yang mampu memaknai manusia
bernama: mahasiswa.
Inilah
wajah mahasiswa saat ini. Calon pendompleng yang telah masuk daftar tunggu
untuk melanjutkan kursi-kursi pemerintahan carut-marut. Hai, mahasiswa..
bukankah pada kekuasaan kalian rela menanggalkan harga diri demi mendapatkan
segala yang bukan menjadi hak kalian? Dengan harga diri yang sudah tergadaikan
itu, lebih berharga mana kalian dengan binatang manapun di muka bumi?
Seorang terpelajar harus sudah
adil
sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan.
— Pramoedya Ananta Toer—