aku mendengar kisah ketika aku
sedang ada di goa (tempatku bertapa)
seseorang dengan muka lusuh dan
nampak tidak bersahabat. klimis rambutnya
sepertinya dia penguasa.
dia terus saja bercerita
sementara aku diam.
Sabda, dongengan, dan dagelan siapa lagi yang
bisa menggetarkan hati gelap manusia. Menggoncang dunia dengan dinamit yang
mengalir dari bahasa-bahasa lugas. Meneror pikiran-pikiran kuno masyarakat
dengan satu tembakan yang tepat laiknya Vassili Zaytsev, penembak jitu Soviet
yang terlibat duel maut dengan Heinz Thorvald.
Kalau pada masa pecahnya revolusi penggulingan
tahta Tsar di Soviet, hiburan paling baik adalah mendengar propaganda anti
Tuhan dan keriangan menghitung mayat di jalanan saat anak kecil pulang sekolah.
Tapi sekarang, di kampung kita, hiburan apa yang paling menarik, sehingga dari
waktu ke waktu kita bisa melupakan lapar karena belum makan seharian? Siapa
lagi kalau bukan SBY sang presiden.
Dongeng dan sabda-sabda lelaki tambun yang di
ganggu – diolok-olok kawan sebayanya, di rebut mainannya, diganggu dalam
memunguti uang monopolinya – sehingga jam untuk tayang telenovela yang resmi
keluaran pemerintah semakin di perpanjang – Cinderlela Complex.
Kita bisa mendengar dia mengeluh. Bercerita
dengan gayanya yang menyebalkan saat dijaili lawan politiknya, sehingga merasa
perlu untuk segera tampil di podium untuk mendongeng. Membuat
pernyataan-pernyataan bak selebriti kehilangan pamor. Namun, ia juga mengalami
nasib yang sama seperti Pram. Hidup sebagai bunga. Separuh orang membencinya, dan
separuh orang menyanjungnya.
Salah satu hal di luar logika adalah kekaguman
terhadap sesuatu. Kemana arah kekaguman, dan apa yang kita kagumi adalah murni
misteri yang matematika dan ilmu kebatinan manapun tidak akan pernah sampai ke
sana. Tapi mengapa aku mendadak memaafkannya dan memaklumi sebagai bagian dari
kehiduapan. Tapi yang terpenting adalah counter dari rasa lapar.
Tapi, bagaimanapun juga SBY tetaplah seorang
manusia yang memang layak mengaduh dan merasa kesakitan. Namun sebagai seorang
lelaki, ia tak dapat dimaafkan. Tapi apa kita akan sepenuhnya menyalahkannya
sebagai lelaki yang terlalu cengeng?
Sebentar. Dengan persoalan ini, membuatku jadi
teringat sebagian Suku Indian yang meyakini bila mengerang dan mengaduh adalah
bentuk dari kebetinaan. Sehingga anda jangan heran bila seorang yang terkena
panah di tubuhnya dan mencabutnya sendiri tanpa harus merintih kesakitan dan
mengaduh. Andai saja SBY dapat mengikuti jalan dan hidup secara jantan bak Suku
Indian. Namun sayang. Pengandaianku hanya akan tetap menjadi angan. SBY itu
bukan Suku Indian, yang menghadapi lukanya secara jantan.
Mungkin karena itu, dia terus mendongeng. Memelas
di podium seperti anak kecil yang kehilangan layangannya. Dari SBY aku banyak
mengerti tentang arti melindungi. Arti sebuah kekuatan rakyat yang terpancar
ketika SBY sedang lembek dan memelas di depan rakyat. Padahal rakyat selalu
hidup sendiri, rakyat tidak ada yang pandai untuk mengadu dan berbagi persoalan
kepada SBY sebagai penguasa. Rakyat menyelesaikan persoalannya sendiri.
Menghadapi badai kelaparan, kesenjangan, pemiskinan dengan sendiri. Sebagai
seorang pribadi, manusia, dan lelaki.
Apa SBY bukan lelaki?
Citra D. Vresti Trisna