KAMPUS TANEYAN LAJHENG UNIJOYO

KAMPUS TANEYAN LAJHENG UNIJOYO

LPM Spirit - Mahasiswa
Rabu, 01 Mei 2013
http://3.bp.blogspot.com/-bpj05NI3_fU/Tyi-Lrj0qdI/AAAAAAAAAG8/bZ-pM9cM6Dg/s320/Foto0644.jpgOrang di luaran sana pada berteriak miring tentang rencana pembangunan kampus yang didasarkan pada kearifan lokal budaya Madura. Banyak diantara mereka yang kagum. Ada yang heran, apatis, dan ada juga yang memaki. Karena memang apa yang akan digagas merupakan sebuah sesuatu yang luks, serta diluar dari kelaziman yang ada.

Selain itu memang Madura kerap menampilkan dirinya menjadi figur yang nyentrik, dan tampil beda. Dalam banyak hal Madura selalu ‘dicurigai’ banyak orang, terlepas benar atau salah kecurigaan itu, pokoknya curiga saja dulu, titik. Boleh jadi, satu-satunya warisan dari Madura kepada masyarakat luar adalah produk kecurigaan. Baik orang maduranya, perdagangnya, pemerintahannya, kiainya, blaternya, bahkan mitos seksualitasnya pun tak lepas dari kecurigaan. Kalau sudah dicurigai, maka tahapan selanjutnya adalah tuduhan demi tuduhan yang mengalir deras pada masyarakat Madura. Maka tidak ada hal yang dapat dilakukan keduanya, baik masyarakat madura maupun masyarakat luar.

Masyarakat madura yang pasrah saja lantas serta merta mengamini tuduhan dengan jalan tidak melakukan perubahan, sedangkan dari luaran sana, tanpa hentinya membanjiri dengan tuduhan yang sebenarnya kurang berdasar. Dan ada juga yang menyebutnya salah alamat.

Sudahlah, kita tak perlu terlampau jauh dulu dengan kecurigaan-kecurigaan tanpa dasar yang dilontarkan pihak luar, dan baiknya kita kembali pada persoalan rencana pembangunan (master plan) yang kabarnya terlalu over dosis. * kita tau bila rencana pembangunan yang ada telah melalui berbagai pertimbangan yang matang, dengan tidak meninggalkan pebangunan dari kearifan lokal budaya madura. Bisa dibilang, berangkat membangun dengan modal ini saja sudah sangat bagus dan mulia. Kalau perlu, pantas untuk diberikan nilai lebih ketika banyak orang di inidonesia yang sudah jauh meninggalkan budaya lokal mereka dan cenderung memilih mendongak menghadap pantat barat. Kita bisa belajar banyak pada Jepang yang sanggup bangkit dari keterpurukan dan menjadi negara yang diperhitungkan di kancah internasional. Sejak Hirosima luluh lantak, maka jepang bangkit lagi perlahan dan pasti melalui kekuatan budaya. Jepang dapat menjadi negara yang kuat karena setiap masyarakatnya mampu menyerap perkembangan dari luar dengan berpegang pada kearifan lokal budayanya.

Namun semua itu tidak terlepas dari keseriusan dan etos kerja yang tinggi dan juga menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam segala aspek, terutama pelaksanaannya. Sedankan master plan yang akan dilaksanakan di kampus ini adalah sebuah konsep pembangunan dimana menggunakan taneyan lanjheng, atau tata letak rumah adat Madura. Konsep ini merupakan cerminan dari kearifan lokal dalam pembangunan kampus Trunojoyo mendatang. Hal ini mengisyaratkatkan eksistensi pembangunan dan keterikatan kampus ini akan budaya. Tapi pertanyaannya apakah kampus kita ini sudah siap untuk menuju pada pembangunan yang didasarkan pada kearifan lokal, sedangkan dalam hal remeh seperti WC, yang jadi kebutuhan pokok dan darurat, hanya terdapat di mesjid kampus. Kalaupun ada, itu hanya sekedar nama saja, karena yang ada dalam gedung tempat kuliah sudah demikian bobrok dan rusak berat. Kalau ini bisa disebut sebagai pembangunan yang berdasar kesungguhan serta kejujuran, maka bisa kita simpulkan sekenanya bila pembangunan yang berdasarkan pada kearifan lokal adalah pembangunan yang tak kenal WC.

Karena keberadaan dan pengadaan WC yang memenuhi syarat memang tidak perlu. Dan semoga pembangunan yang berdasarkan kearifan lokal bukan berarti pembangunan gedung-gedung berlantai sepuluh, atau seratus tapi ringkih layaknya rumah semut. Semoga saja. Jadi masihkah kita katakan bahwa tuduhan terhadap rencana master plan ini salah alamat? Kita yang bisa menilai. Sehingga apa yang menjadi catatan di sini, dimana kalau dianggap sebagai sebuah kekurangan, bisa dirubah sesuai dengan mestinya. Tapi kalu saja dianggap sudah tepat, ya silahkan dilanjutkan, atau paling tidak bisa dibisniskan dan dijadikan peluang usaha. Ke WC bayar, misalnya. Dan itu pun kalau tidak malu. Karena kabarnya, rasa malu kita sudah digadaikan dengan harga yang sangat murah.

Citra D. Vresti Trisna