Berdengung kata itu: Korupsi. Tiap dinding, tiap benda di kamar serasa
ikut menggigilkan kata yang itu-itu juga: korupsi! Korupsi! (Pramoedya Ananta
Toer: Korupsi)
Korupsi
semakin ramah di telinga kita. Semua media, baik cetak, televisi, maupun online
pasti ada pemberitaan pejabat yang korupsi. Mafhum, semenjak era reformasi
Indonesia sedang berusaha membasmi penyakit korupsi yang menggerogoti dirinya.
Semua profesi (termasuk tukang becak) membicarakan pejabat-pejabat yang
terlibat atau dalam proses hukum.
Tidak
ingin kalah dengan tukang becak, mahasiswa yang identik dengan panggilan calon
intelektual turut serta. Terkadang dalam beberapa kesempatan melihat mahasiswa
turun aksi menghujat atau mendesak mundur pejabat yang berindikasi korupsi. Pihak akademisi, khususnya perguruan
tinggi menjadi “teman” dalam sosialisasi dan pemberantasan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak mengherankan apabila KPK menggandeng
mahasiswa.
Gelar
"Maha" memikul kewajiban besar yang tidak bisa disepelekan. Tri
fungsi yang melekat erat memberikan harapan bagi masyarakat bawah untuk
memperjuangkan kehidupan mereka agar lebih baik. Akan tetapi Agent of change,
Social control, dan Man of analysis tiadalah berarti ketika tidak
mampu menjadi manusia yang merasa. Inilah puncak kelesuan nurani yang
memerangkap mahasiswa pada titik nol pra sadar.
***
"Bagaimana bisa tempat yang dikepung dinding ini menciptakan manusia
yang bisa melakukan perubahan, mengontrol, dan menganalisis?" tanyaku pada
seorang teman.
"Saya kan sudah bilang, tempat kita ini adalah peradaban tua
yang congkak" jawabnya.
Inilah sebuah paradoks. Kata yang
menggambarkan pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Albert
Camus lebih menyukai kata kontradiksi daripada paradoks. Walaupun begitu aku
sependapat dengannya bahwa pada dasarnya manusia mengetahui hidup dalam sebuah
paradoks, dan diwajibkan memilihnya.
Pertentangan ini pula
dihadapi mahasiswa. Satu sisi menolak korupsi, namun di sisi lain
mempraktikkan. Contoh kecilnya adalah laporan pertanggungjawaban (selanjutnya
lpj) kegiatan. Seorang teman yang menjadi ketua sebuah organisasi kemahasiswaan
bingung, tatkala uang kemahasiswaan organisasinya diminta untuk menyisihkan
beberapa ratus ribu untuk membantu kegiatan kemahasiswaan lain yang kekurangan
dana. Wajiblah dia membuat lpj sesuai proposal padahal uang yang diterima
sudah berkurang dari yang semestinya. Misalkan dia mengajukan Rp.1.800.000,00
tetapi karena uang Rp. 800.000,00 diperuntukkan kegiatan kemahasiswaan lain
yang kekurangan dana, akhirnya dia juga membuat lpj Rp. 1.800.000,- sesuai dana
yang diminta. Kemudian ketika menyerahkan lpj dia disindir karena menggunakan
stempel dari hasil membuat di komputer (stempel softcopy). Sontak dia
tanya, "Emang yang pakai stempel asli sudah terjamin jujur?"
Stempel menjadi penting
karena itulah bukti otentik dari kejujuran administrasi. Kutemukan juga
organisasi yang memiliki stempel lengkap. Mulai warung makan, tempat fotokopi,
toko alat tulis kantor, sablon banner, dan sebagainya. "Biar mudah buat
lpj." ujarnya enteng. Ketika bertanya kebiasaan itu pada teman yang di
organisasi dan perguruan tinggi lain tak jauh beda. Kita bisa dengan bebas
memesan stempel di berbagai tempat di pinggir jalan.
Apa yang terjadi jikalau
dana sebuah kegiatan tersisa atau kurang? Tetap saja lpj harus disamakan dengan
proposal yang diajukan. Kekurangan dana solusi hutang, sisa dana wajib
dihabiskan. "Lebih baik dihabiskan daripada dikorupsi." atau
"Sudahlah bengkakkan, namanya juga bahasa proposal" adalah kalimat
yang kerap kudengar. Selama saya berorganisasi, hal tersebut dianggap lumrah.
Akar korupsi adalah
ketidakjujuran. Bodohnya, saya baru menyadari kerikil yang dapat membentuk
karakter korup itu. Ironis. Anggapan perguruan tinggi sebagai kawah
candradimuka bagi penggemblengan ilmu serta karakter pemuda dan dirasa masih
bersih dari praktek-praktek korupsi, justru tumbuh benih-benihnya.
"Mungkinkah para
pejabat yang korupsi itu seperti kami?" tanyaku dalam hati.
"Entahlah"
kujawab sendiri pertanyaan itu.
***
Proposal kegiatan adalah das sollen sedangkan lpj adalah das sein.
Kesenjangan di antara keduanya sering kita temui. Berangkat dari apa yang
diinginkan hingga berhenti pada apa yang terjadi. Dan kenapa muncul kredo bila
mahasiswa itu idealis? Plato yang meletakkan pondasi idealisme berpendapat bahwa
hakikat kenyataan bersifat rohani dan abadi, lepas dari materi dan hanya
terdapat dalam dunia ide. Penekanan idealisme Plato memberikan deskripsi
apabila tindakan manusia dipengaruhi moral. Menurut Win U. Bernadien, Idealisme
memandang cita-cita sebagai objek yang harus dikejar dalam tindakan. Tidak
mudah mengubah sebuah dunia riil dengan dunia gagasan. Chaos menyertai
pergulatan ketika dalam tataran pewujudan dunia ide. Tak heran kaum idealis
dianggap kaku.
Pragmatisme membawa pada sebuah kesimpulan jika tidak ada kebenaran mutlak.
John Dewey memperkuat aliran ini. Menurutnya tidak ada yang tetap karena segala
sesuatu selalu bergerak. Kemudian pemikiran ini menyeret bahwa sesuatu
dikatakan benar bila membawa hasil yang dapat memenuhi tuntutan hidup manusia.
Mahasiswa pada umumnya masuk fase pra dewasa. Pada fase ini emosi yang mudah
bergejolak dan suka akan perubahan. Perubahan yang membawa hasil. Kecenderungan
melenyapkan korupsi yang dilihat secara jelas, tanpa memperhatikan tindakan-tindakan
kecil yang mempengaruhi karakter sendiri untuk tidak korupsi. Kondisi ini suatu
ketika akan berpengaruh besar: tidak jujur itu lumrah.
***
Selama
ini hanya pejabat yang menjadi sorotan kasus korupsi. Sedangkan mahasiswa
dengan kebiasaan nakal itu luput. Benih tetap tumbuh dan korupsi tidak akan
pernah musnah. Pengawasan terhadap benih korupsi mahasiswa pun tidak ada.
Mungkin tidak ada yang berani mengawasi manusia bergelar "Maha" itu?
Ataukah itu dipandang sepele?
Perlu
sebuah pengawasan terhadap lpj kegiatan organisasi kemahasiswaan. Sebuah Tim
dari KPK atau lembaga independen di luar kampus yang mengaudit organisasi
kemahasiswaan di kampus. Dana yang dipergunakan mahasiswa dalam sebuah
organisasi kemahasiswaan bukanlah dana kampus, melainkan uang rakyat juga.
Sekiranya ini diterapkan pasti yang bergelar "Maha" akan marah bila
digugat. Jika benar demikian, jam pasir kejujuran akan habis dan selanjutnya
terbalik. Kami akan menjadi koruptor-koruptor berikutnya.
Tuhan yang bergelar segala "Maha" tidak pernah marah jika
digugat. Lantas kenapa manusia yang bergelar "Maha" takut untuk
digugat? Dan bodohnya, kesadaran itu baru muncul sekarang.
Oleh Irfa R. Boyd
Bangkalan, 2011