Ernesto (Che) meninggalkan kenyamanan sebagai mentri di pemerintahan Castro;
setelah berhasil dalam revolusi menggulingkan rezim Batista (1959). Bagiku, Che
adalah salah satu dalam daftar sakit jiwa akut: masokistik irrasional—menerobos
hutan gelap untuk mengajak para petani di Boivia berjuang. Di tahun 1967 yang
naas, Che ditembak mati tentara Bolivia. Mungkin kita boleh menyebut hal ini
sebagai kegilaan. Merayap-rayap dalam belukar, melintasi indahnya sungai-sungai
dan padang ilalang untuk sebuah maut yang tengik. Kematian dalam gejolak
revolusi yang “katanya” indah boleh jadi hanya jargon dan upaya menertawai
diri, atau sebaliknya: keniscayaan untuk kematian dalam revolusi. Pemimpin mana
yang tidak memimpikan dirinya berada dalam situasi yang nyaman: berburu di
hutan, membidik buruan sambil menghisap cerutu Kuba. Tapi, Che memilih pergi
dari kenyamanan. Dalam keadaan terdesak, ketika peluru dan nyawa tidak lagi
berjarak, sakit di hutan, kelaparan; rasa pamrih eksistensi diam-diam menuntut
haknya untuk dipenuhi.
Dan segala harga diri kelelakian saat itu—berada di garis depan
pertempuran—menjadi eskapisme yang irrasional. Kematian dalam perang hanya
urusan satu kali tarikan pelatuk. Selebihnya hanya cerita kepahlawanan dan
mengorek heroisme yang pernah dialami si mati untuk membenarkan perjuangan dan
nyawa yang tergadai. Setelah itu, kembalinya seseorang pada puaknya untuk
diverivikasi pantas tidaknya gelar pahlawan disematkan. Dunia cenderung tidak
pernah logis dalam memberikan penilaian. Namun, segala perilaku heroik yang
masokistik selalu berbuah manis untuk sebuah eksistensi. Dan kematiannya
memberikan makna bagi Che—penganut epikurian—untuk bisa menuntaskan hidupnya,
setidaknya agar memiliki arti dan memerdekakan dirinya dengan cara yang
sebetulnya menggelisahkan. Bisakah kita memisahkan Che dan heroismenya dari
kolektivitas? Apakah ia berdiri sendiri dengan keberaniannya dan terlepas dari
sesuatu yang tendensius? Kalau kita menganggap Che memiliki kesadaran warga
negara (civisme) yang tinggi; Che bukan warga Kuba. Ia juga bukan orang
Bolivia. Mengutip Debray—kawan seperjuangan Che sewaktu di Kuba yang sekarang
menjadi pengaggum nasionalisme Amerika—yang menganggap: tidak ada masyarakat
yang disucikan tanpa adanya tendensi. Dalam catatan perjalanan keliling Amerika
Selatan bersama sahabatnya Alberto Granado yang juga seorang calon
dokter—benih-benih heroisme tumbuh setelah melihat berbagai peristiwa yang
terjadi pada masa itu. Che melakukan observasi partisipasi dan mencatat
berbagai peristiwa: gerakan buruh dan gejolak kemanusiaan sebelum akhirnya
merasa menemukan hidup. Juga setelah bertemu Castro dan mewujudkan revolusi
yang diyakininya.
Dengan kemudaan Che saat itu, kita bisa mencurigai bila apa yang
dilakukannya berangkat dari label: tokoh kunci perjuangan—semacam ikon yang
menjadi sorotan dunia internasional. Semangat cinta kasih yang didapatnya dari
perjalanan keliling Amerika Selatan menjadi inspirasinya untuk terus berjuang;
menukar kenyamanan dengan kepastian “mati”. Dalam suratnya kepada Castro, ia
menulis: “bahwa dalam revolusi salah satu pihak akan menang atau mati (bila itu
benar revolusi)”. Che membuktikan keyakinannya dengan membantu masyarakat
Bolivia mengangkat senjata dan berjuang untuk rakyat yang bahkan tidak mengerti
sedang diperjuangkan. Sewaktu revolusi di Kuba, perjuangannya menjadi begitu
memungkinkan karena masyarakat turut pula membantunya. Sedangkan di Bolivia dia
berjuang dengan beberapa gelintir orang yang masih punya kepercayaan untuk
mengangkat senjata. Che bukan satu-satunya yang berani mengambil
pilihan-pilihan hidup dengan melawan. Umumnya perlawanan selalu berangkat dari
motivasi kolektif yang primordial. Baik di Kuba atau di Bolivia, Che menerobos
batas-batas itu untuk sebuah keyakinan dan mungkin gairah hidup yang membuat
darahnya berdesir. Mungkin itu bisa berupa keberanian; mungkin juga rasa
pamrihnya untuk dikenang. Bersamaan dengan pamrihnya terhadap sesuatu, Che juga
memiliki ketakutannya sendiri. Mekipun pilihannya telah ditentukan dengan
menerjunkan diri ke Bolivia dan mengangkat senjata. Paling tidak, rasa
melankolik tetap bisa dirasakan dalam catatan dan suratnya kepada anak-anaknya,
Castro, dan ibunya. Rasa takut yang dibenamkan dalam-dalam hingga pada akhirnya
terlontar dalam surat-surat singkatnya. Aung San Swu Kyi pernah berkata
“satu-satunya penjara bagi manusia adalah rasa takut. Dan satu-satunya
kebebebasan yang hakiki adalah bebas dari rasa takut.” Bagiku Che mungkin
“takut” sebelum ia bergulat dalam revolusi di Bolivia. Tapi, mungkin Che juga
diselamatkan jargon-jargon yang dibacanya atau yang dikarangnya sendiri untuk
tetap meneguhkan hati menjalankan revolusi yang diyakininya. Untuk orang
sekaliber Che, tidak ada pilihan lain kecuali konsisten dengan keyakinan dan
egonya. Dalam konteks saat ini, Che masih tetap eksis dan menjadi bagian dari
hidup kita. Semangat, keberanian, dan perjuangannya mendapat ganjaran yang
setimpal. Ia menjadi begitu dikenal dikalangan aktivis muda yang masih merasa
perlu sokongan semangat lewat kaus-kaus bergambar Che beserta jargon-jargon
keberanian. Kita mungkin akan memandang Che dari dua sisi: pemitosan
(pengkultusan), atau justru sinisme.
Pengkultusan: bagi yang menganggap Che sebagai sebuah menara
tinggi yang membuat kita merasa perlu mendongak ke atas—berjalan terus meski
sesekali kembali menoleh—berharap sejarah kembali berulang tanpa mau mengerti
tentang relevansi perjuangan beserta konteksnya. Sinisme: bagi yang menganggap
sejarah perjuangan silam yang dikenang berlebihan justru membawa dampak
dekadensi dalam perjuangan. Sejarah perjuangan selalu membawa pamrihnya
sendiri. Megalomaniak menjadi begitu dekat dengan perjuangan kita saat ini yang
sebenarnya tidak seberapa. Dalam perjuangan, pamrih selalu berjalan mendahului
tujuan dan melupakan dasar perjuangan: keberanian. Soal istilah “kesucian”
nilai perjuangan, sebainya kita lupakan sejak awal kita hendak berjuang.
Kesucian hanya milik Tuhan, yang sangat jauh kaitannya dengan konteks
perjuangan sekarang yang sudah bergumul dengan lumpur-lumpur politik. Mungkin
juga kesadaran untuk memahami Che sbagai sepenggal kisah yang perlu dicatat dan
dibicarakan ala kadarnya. Sebagai sesuatu yang juga terkadang memiliki
khilafnya sendiri. Bukankah kita tak pernah punya penilaian yang adil dalam
banyak hal. Ditambah lagi kita selalu terbuai dengan generalisasi, jargon, dan
beragam eufimisme yang mengkarbit menjadi seseorang yang meyakinkan diri bila
sedang berjuang.
Bila sejarah selalu berulang, lalu kapan kita mengangkat senjata?
Mungkin fatalisme dan dasar pemikiran Che belum mendapatkan definisi dan
hurufnya di sini. Kalau ada yang tidak sengaja memahami Che sebagai sesuatu
yang sifatnya mitos, mungkin ia tersesat di kulit luar perjuangan dan yang
begitu jauh dengan substansi. Sedangkan realita saat ini adalah hakim yang
sekaligus membawa cermin dan memantulkan motif dan subjek yang kita
perjuangkan. Andai apa yang diperjuangkan Che adalah sesuatu yang sifatnya
menginduksi keberanian dan semangat—yang dengan sembrono kita sebut “mata
rantai pergerakan” dan diyakini secara kolektif—mungkin kita butuh mendengar
Nietzsche: “rasionalitas di dalam fatalisme ini, tidak selalu berupa kebenarian
untuk mati tetapi bisa jadi berupa pelestarian hidup di bawah kondisi yang
sangat membahayakan.” Dan satu-satunya definisi kita akan kondisi yang
membahayakan adalah kelaparan yang tidak bisa ditunda. Untuk aktivis sekarang,
yang sedang tersesat dan berada di atas ranjang kos; di tengah tuntutan akan
link sebagai jalan pintas (KKN) di dunia kerja—bisakah kita kembali mengangkat
senjata dan membicarakan kemungkinan dunia yang lebih baik dan revolusi yang
sebenarnya: yang bukan revolusi cacing?
Citra D. Vresti Trisna
2 April 2012
Citra D. Vresti Trisna
2 April 2012