OPOSISI team |
Dingin
Gunung Lawu
Bahwa sebagai seorang manusia yang mengikrarkan diri untuk dapat
mencintai Indonesia secara sehat, musti melakukan perjalanan-perjalanan
untuk mengenal masyarakat dan realita hidup dari dekat. Seperti
diskusi-diskusi panjang kawan-kawan LPM spirit mahasiswa di
warung-warung kopi menghasilkan keputusan bila kami harus melakukan
perjalanan. Perjalanan untuk menjadi seorang lelaki, sebagai seorang
manusia manusia.
3 Agustus 2010
Setelah keputusan untuk melakukan perjalanan.
Maka secara kebetulan kawan-kawan dari ARBIMAPALA
ingin mengajak kawan-kawan SM (Spirit Mahasiswa) untuk memulai
perjalanan dari Gunung Lawu. Maka sejak saat itu, kita deal untuk
memulai perjalanan ke Gunung Lawu sebagai awal perjalanan kawan-kawan
SM.
Beranggotakan
tujuh orang-orang unik dan nyentrik, maka dengan Bismillah kita
berangkat pada sore yang gerimis, pukul 3 sore.
Mereka adalah: Qorib, Defy, Tony, dan Citra, dari kawan ARBIMAPALA.
Sedangkan Luthfi (FANATIK), Dayat (VOL). Dan dari SM adalah: Boyd, Defy,
dan Citra.
Sesuai dengan kebiasaan masokis dan penyakit bokek menahun yang melanda
kawan-kawan, maka disepanjang perjalanan kami terpaksa menumpang dengan
truk, dan pick up sampai di tempat tujuan. Lagipula truk dan pick up
adalah kendaraan wajib sesuai ADRT ARBIMAPALA, maka kami harus mencari
tumpangan di setiap pemberhentian, atau lampu-lampu merah.
Disepanjang
perjalanan, hujan terus mengguyur tiada habisnya. Tumpangan, demi
tumpangan terus kita lewati dengan prihatin. Boyd yang belum terbiasa
melompat ke truk, harus jatuh di Mojokerto ketika truk yang kita lewati
tancap gas, sehingga lututnya terluka cukup parah. Tanpa-obat obatan dan
hanya berbekal semangat, serta canda, akhirnya membuat Boyd nampak
sedikit melupakan sakit yang ada pada lututnya. Karena hari sudah
menjelang malam, maka kita menyantap bekal ala kadarnya di pinggir
jalan.
Tampang
kami bertujuh sudah mirip dengan gelandangan karena pakaian yang kita
pakai sudah demikian kumuh karena sebelumnya kita menumpang truk yang
dipenuhi dengan Oli bekas. Tapi kita pikir bukan menjadi sebuah
persoalan. Kita tetap berjalan. Menghabiskan malam dengan mencari
tumpangan demi tumpangan. Hidup tumpangan.
Pukul 12.30 pagi di daerah Mojowarno-Jombang. Tubuh kita sudah terlalu
lelah untuk terus melangkah. Dengan kondisi berhujan-hujan dan tubuh
yang hamir basah kuyup, juga beban berat di punggung, pada akhirnya
lelah mengalahkan kami, sehingga harus tertidur di depan emperan toko
dengan selimut debu dan angin malam.
4 Agustus 2010
Menjelang subuh tiba, sebelum kami harus di usir oleh empunya toko. Kita
sudah kembali berdiri dibawah lampu merah untuk kembali mencari
tumpangan.
Sebuah
pick up akhirnya membawa kami melaju. Meninggalkan Jombang bersama
angin pagi terus hembusi dada kami.
Pukul 13.00 siang, kami tiba di daerah Jogorogo. Di sebuah sawah pinggir
perempatan jalan. Kita menjadi liar karena melihat pohon asam yang
sudah matang. Maka kelakuan bar-bar kami menjadi-jadi. Kita menggasak
asam matang sampai kantung tas kami penuh dan kembali berangkat.
Di perjalanan kali ini, kita melakukan pendakian dari Desa Srambang.
Jalur yang jarang dilewati oleh para pendaki, karena biasanya yang
melewati jalur itu adalah para pencari kayu dan orang-orang desa. Karena
kami seharusnya melakukan pendakian lewat jalur jatim, di cemoro sewu,
atau yang jateng di cemoro kandang. Dasar orang-orang masokis.
Melewati jalanan desa yang panjang, rumah-rumah penduduk dan bentangan
sawah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan ini. Sampai
pada pukul 15.00 sore, kami memulai pendakian.
Sore yang ingdah, bersama matahari terbenam kami melewati jalan setapak
para pencari kayu. Karena sama-sama tak ada yang mengenal jalur ini,
maka kita melewati pendakian kali ini dengan hobi kami: berspekulasi.
Dengan
petunjuk jalan yang sudah diberitahu penduduk dan para pencari kayu,
maka hanya dengan itulah kami melangkah. Hari sudah menjelang malam, dan
kami memutuskan untuk melakukan ritual kami untuk mencari jalan
sempalan. Dari sinilah petaka dimulai.
Menjelang malam, karena kami merasa sudah tidak mungkin lagi berjalan,
mengingat Luthfi sudah kurang enak badan dan terus menggigil, maka kita
memutuskan untuk beristirahat di gubug petani tembakau. Kita mulai
memasak dengan bekal kami yang seadanya (baca: kere). Tepat pukul 9
malam, dengan selembar daun pisang, kita makan beramai-ramai. Selepas
makan, kami mengistirahatkan tubuh kami yang sudah lelah sambil
berpelukan menahan hawa dingin yang menggila. Sambil terus menguatkan
kawan yang sakit. Kita pasti bisa melewati perjalanan ini dengan
selamat.
5 Agustus 2010
Pukul 02.00 am. Aku, Defy, dan Qorib mulai memasak untuk kawan-kawan.
Luthfy sementara kita biarkan tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Sementara Dayat, Tony, dan Boyd juga kita biarkan untuk beristirahat
agar mereka kembali prima. Pukul 03.00 masakan sudah siap.
Kubangunkan
kawan-kawan kami yang tercinta untuk menyantap sarapan ala kadarnya..
Selepas berkemas, pukul empat pagi kita kembali melakukan pendakian.
Jalanan setapak yang masih gelap dan angin pagi yang membuat gigi kami
bergemeletuk tak menghalangi langkah kami melangkah. Sampai pada pukul
enam pagi kami melewati jalan setapak yang mulai menghilang. Kami sudah
jauh tersesat. Cuma alang-alang yang ada di depan mata dan tanaman
menjalar berduri yang membuat kulit kami tergores dan berdarah-darah.
Yah, kita sudah tersesat. Kalau di teruskan dan menerabas perjalanan,
maka tidak ada jaminan kita akan selamat. Akhirnya Qorib melakukan
inisiatif menaiki pohon untuk mencari jalanan setapak yang hilang.
Sampai akirnya ia melihat kebun pisang. Kita menuju ke sana.
Ada seseorang yang kemudian memberitahu kemana kami harus berjalan. Pria
penyadap getah pinus terus menunjukkan kami jalannya dengan bahasa jawa
halus. Ia terus dan terus bicara. Sementara kami hanya manggut-manggut
karena sebenarnya tidak mengerti. Akhirnya kita cuma mengikuti arah yang
di tunjuk pria penyadap itu.
Sungguh malang orang-orang di sini.
Satu
kilo getah pinus hanya dihargai 1400 rupiah. Sementara getah dari satu
pohon tak lebih dari 50 gram.
Kemudian kita menjumpai ibu-ibu petani tembakau yang juga menunjukkan
jalan kami. Ibu itu nampaknya gelisah dengan kami. “oalah, arek iki
cilik-cilik munggahi gunung. Gunung kate koen trobos tuk tuk tuk. Kate
dadi pahlawan ta? (kecil-kecil naik gunung. Gunung akan kalian trobos
tuk tuk tuk. Mau jadi pahlawan)”
Pukul sembilan pagi kita sampai di kir bayi. Di sebuah sungai, kita
mengisi botol-botol minuman kami yang kosong, lalu kembali meneruskan
perjalanan. Kemudian setelah beberapa jam kita berjalan, ada dua jalan
yang bercabang. Jalan yang lurus adalah jalan berbatu, dan yang satunya
jalan dari hasil cangkulan. Akhirnya kita memutuskan untuk lurus.
Pukul 12 siang, kami menyantap bekal kami dari hasil eksperimen.
Pisang
mentah yang dibakar dan diberi gula. Rasanya mirip singkong. Setelah
puas makan dan minum, juga merokok, kita meneruskan perjalanan. Gunung
sudah semakin terlihat. Kita semakin semangat.
Kita berjalan sudah cukup jauh sejak istirahat tadi. Kira-kira sudah dua
bukit kami lewati. Kemudian, kita bertemu dengan seorang lelaki tua
pencari kayu. Ia mengatakan hal yang tak ingin kami dengar: sampean
kebrasuk mas. Dalan iki buntu (anda tersesat mas. Jalan ini buntu).
Akhirnya kita mengikuti orang itu kembali lagi sambil menunjukkan jalan
yang benar. Dan waktu itu sungguh melelahkan. Pak tua itu jalan tana
kenal istirahat. Ia jalan menuruni dan menaiki bukit dengan begitu
cepat, dan hampir berlari. Kesal. Marah, dan lelah bercampur. Dan benar
dugaan, bila jalan yang bercabang tadi adalah jalan yang benar. Sampai
menjelang sore, kita melewati labirin yang gelap yang terbuat dari
kayu-kayu. Sebentar lagi sampai.
Hari menjelang gelap. Luthfi kembali kumat sakitnya.
Ia
menggigil dan hampir tak kuat lagi melakukan perjalanan. Akhirnya kita
beristirahat sebentar sambil menggasak mie mentah dan gula merah agar
kembali kuat, serta air yang harus di takar sedikit-sedikit karena sudah
mulai habis.
Dengan tenggorokan yang hampir terbakar karena haus dan lapar, kita
meneruskan perjalanan. Hari sudah menjelang malam, sementara kawan yang
sakit juga sudah benar-benar drop. Kita memutuskan untuk beristirahat
dan tidur. Kawan-kawan yang masih kuat mulai memasang banner dan mantel
yang hanya sebuah untuk menahan angin. Entahlah, berkat ide jenius atau
bodoh untuk tak membawa tenda membuat kami terus menggigil. Aku terus
menggigil sambil memotong tali yang dibutuhkan untuk mengikat tali di
balik pohon sambil duduk dan memeluk Luthfi yang sakit. Sementara yang
lain terus mengupayakan tempat yang hangat.
Mendung gelap menyelimuti langit. Kami semakin gelisah. Aku mulai
membuat parit-parit agar tempat yang kita pakai tidur, tidak tergenang.
Terlambat
gerimis telah tiba. Kita memaksakan tidur dan berpelukan. Angin yang
kencang, menerpa baner kami dan membut temalinya putus. Kita sudah tidak
lagi perduli. Kita hampir sekarat kedinginan. Benar seperti yang
dikatakan internet, bila suhu malam di gunung ini berkisar antara 0-4
drajat celcius. Malam, kapan cepat berakhir.
6 Agustus 2010
Kami selamat. Kami meneruskan pendakian tanpa setetes air. Tenggorokan
kami benar-benar tersiksa. Tubuh kami lemas, karena tak ada sarapan.
Akhirnya Tuhan menjawab doa di sebuah sabana luas. Kami dengan adanya
dedaunan dan bunga-bunga yang banyak terdaat titik-titik embun. Akhirnya
kita menjilati dedaunan dengan beringas.
Pemandangan disini begitu memikat. Padang rumput yang luas terhampar
seerti tanah lapang. Bunga-bunga warna-warni, dan rusa-rusa yang
berlarian di permadani dari rumput.
Mereka
sangat lucu.
Hampir menuju puncak, ada sebuah warung di dekat petilasan Prabu
Brawijaya. Menurut sesepuh, Prabu Brawijaya moksa di tempat ini.
Tepat pukul satu siang kita tiba di Hargodumilah, pucak tertinggi gunung
lawu. Rasa syukur benar-benar meledak dari dada kita.
Setelah puas beberapa saat di pucak, pada pukul 3 sore kita turun. Dan
kali ini melewati jalur lain, yakni lewat jalur cemorosewu.
Kita sampai bawah tepat setelah hari menjelang petang. Kita kembali
menuai celaka karena tidak ada truk dan pick up yang melintas. Sementara
tubuh kembali menggigil. Akhirnya kita membuat api di trotoar pinggir
jalan untuk menghangatkan diri. sampai pukul 12 malam, kita tak juga
mendapat tumpangan dan memutuskan untuk tidur didepan emperan toko.
7 Agustus 2010.
Pagi yang dingin kembali membawa kami untuk berperlukan untuk kesekian
kalinya. Kemudian pada pukul dua pagi, kita memakasakan diri untuk
keluar dan mencari tumpangan.
Hingga
sebuah truk pengangkut sapi berhasil membawa kami sampai di kota.
Ketika matahari berada diatas kepala, kami terbangun dari tidur kami.
Truk yang membawa kami terus melaju, dan sudah jauh membawa kami
tersesat sampai kota Kediri. Akhirnya dengan menumpang pick up
pengangkut penjahat milik polisi Kediri mengantar kami kembali ke lampu
merah agar lebih mudah mendapatkan tumpangan. Setelah itu sebuah truk
gandeng kembali mengangkut kami sampai ke Mojokerto.
Dan
pada akhirnya perjalanan kami finish di rumah Defy. Maka sebagai tanda
dari akhir perjalanan kami, maka kita merayakannya dengan memasak
makanan-makanan istimewa dan kembali merokok dengan sebebas-bebasnya.
Waktu-waktu seperti itulah saat yang paling tepat meratapi nasib
luka-luka di tubuh kami yang sudah tak terbilang jumlahnya. Perjalanan
belum usai.
Untuk perjalanan selanjutnya. Suku Baduy Dalam, kami datang(ctr).